MOSUL – “Dunia jurnalistik masih didominasi kaum pria hingga saat ini. Tetapi Shifa Gardi mematahkan persepsi dan prasangka tersebut. Kami menghaturkan hormat atas semangat jurnalismenya,” kicau kantor berita di Irak @RudawEnglish, seperti disunting dari NBC News, Senin (27/2/2017).
Shifa Gardi adalah jurnalis cantik yang meliput di daerah konflik, Mosul, Irak. Dia menjadi pewarta bagi stasiun televisi Rudaw di negaranya. Usianya baru 30 tahun, tetapi kariernya sudah terhenti untuk selama-lamanya. Bukan karena sakit atau dipecat, melainkan perempuan pemberani itu sudah meninggal akibat terkena ledakan bom pinggir jalan saat tengah meliput pertempuran tentara Irak dan ISIS di Mosul pada Sabtu 25 Februari siang waktu setempat.
<blockquote class="twitter-tweet" data-lang="id"><p lang="en" dir="ltr">Rest In Peace <a href="https://twitter.com/hashtag/ShifaGardi?src=hash">#ShifaGardi</a>, a courageous Kurdish journalist who was killed by a roadside bomb in Mosul. My condolences to the family. <a href="https://t.co/UF0fAVQqGi">pic.twitter.com/UF0fAVQqGi</a></p>— Chopy (@ChopyFatah) <a href="https://twitter.com/ChopyFatah/status/835543520895205377">25 Februari 2017</a></blockquote>
<script async src="//platform.twitter.com/widgets.js" charset="utf-8"></script>
Jurnalis cantik itu meninggal. Sementara juru kameranya, Younis Mustafa, terluka. Detik-detik kematiannya terekam dalam sebuah video peliputan langsung dari lokasi kejadian. Insiden ini menjadikan Gardi wartawan pertama yang meninggal saat rekaman di Irak pada 2017. Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mencatat, sedikitnya enam pewarta tewas dalam situasi serupa di negara tersebut tahun lalu.
“Shifa Gardi adalah salah satu jurnalis Rudaw yang paling dikagumi. Dia dikenal sebagai jurnalis yang bertalenta, peliputan-peliputannya luar biasa sejak awal Rudaw TV didirikan,” kenang Rudaw Media Network.
Direktur Eksekutif Rudaw, Ako Mohamm juga mengingat rekan kerjanya itu sebagai sosok yang patut diteladani berkat dedikasinya. “Kami selalu mendesak para jurnalis kami untuk tetap berada di belakang garis depan medan perang. Kami katakan, ‘kalian bukan tentara atau pejuang Peshmerga,” ucapnya.
Namun sayang, demi mendapatkan gambar dan laporan terbaik, ketentuan itu sering diabaikan. “Tampaknya, Shifa bergerak terlalu dekat ke garis depan dan melampaui batas keseriusannya dalam bekerja,” tutur Ako.
Kejadian ini lantas menjadi berita duka bagi keluarga dan kerabat terdekat Shifa. “Posisinya takkan tergantikan di Rudaw dan dia akan selalu berada di hati kami,” tambahnya.
Shifa Gardi. (Foto: Twitter/dok. Rudaw TV)
Pengorbanan Shifa juga mendapat perhatian dan belasungkawa mendalam dari tentara pembantu misi Irak di bawah naungan PBB. Agensi itu menyebut Shifa sebagai pemudi yang professional dan penuh kepedulian. Ucapan turut berduka terus mengalir, di antaranya datang dari Dubes Amerika Serikat di Irak, Douglas Silliman, perwakilan Presiden AS untuk koalisi antiteror, Brett McGurk dan koresponden media asing lainnya.
Wartawan BBC di Timur Tengah, Quentin Sommerville menggambarkan Gardi sebagai jurnalis yang pemberani dan gigih. "Kematian tragis Shifa Gardi menggarisbawahi risiko besar yang dihadapi para wartawan di Irak saat melakukan pekerjaan mereka," kata Robert Mahoney, wakil direktur eksekutif Komite Perlindungan Jurnalis.
"Wartawan yang meliput di Irak, dan terutama yang meliput di daerah konflik yang berkepanjangan, telah menunjukkan keberanian yang luar biasa dan komitmen untuk pekerjaan mereka. Dan semua pihak dalam konflik harus menghormati komitmen itu dengan memastikan bahwa mereka dapat melakukan pekerjaan mereka dengan aman, " tegasnya.