PERTEMUAN bilateral antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald John Trump dengan Presiden China Xi Jinping hanya tinggal menghitung hari. Kedua pemimpin tersebut dijadwalkan bertatap muka di Resor Mar-a-Lago, Florida, AS, pada 6-7 April 2017.
Eratnya jalinan komunikasi Donald Trump dan Xi Jinping disebut-sebut memuluskan pertemuan itu. Akan tetapi, ada satu sosok diplomat yang banting tulang demi terwujudnya kopi darat kedua pemimpin itu. Sosok tersebut adalah Penasihat Negara China, Yang Jiechi.
Salah satu ajudan terbaik Presiden Xi Jinping untuk urusan politik luar negeri itu diyakini memiliki peran yang sangat penting. Pria berkacamata itu bahkan memiliki tingkatan lebih tinggi dari Menteri Luar Negeri Wang Yi dalam kebijakan terkait negara lain.
Sejumlah perbedaan dan perselisihan yang terjadi antara Presiden Trump dengan Presiden Xi Jinping mampu diatasi oleh Yang Jiechi. Wakil Direktur Insitut Analisa Keamanan Global, Gal Luft, menilai pertemuan kedua pemimpin tersebut layaknya sebuah kencan buta.
“Pertemuan tersebut seperti sebuah kencan buta yang mengandung banyak harapan. Harapan terbaik adalah untuk saling mengenal, saling membuka diri terhadap posisi masing-masing pada berbagai isu, agar dapat saling memahami kekhawatiran masing-masing, serta menemukan cara dan area di mana keduanya bisa bekerja sama,” tutur Gal Luft, mengutip dari South China Morning Post, Minggu (2/4/2017).
Dalam waktu kurang dari sepekan, para pengamat yakin prioritas yang ingin dicapai Yang Jiechi dan koleganya adalah untuk merangkul tim Donald Trump sebaik mungkin. Hal tersebut penting untuk meyakinkan China bahwa pertemuan akan berlangsung dengan sukses.
“Orang-Orang Xi Jinping pasti memperhitungkan bahwa kesuksesan pertemuan dapat tercapai atau mereka tidak akan diizinkan oleh sang presiden untuk bekerja keras di awal April,” ujar Direktur SOAS Institut China di London, Inggris, Steve Tsang.
Sosok Familiar di Washington
Yang Jiechi adalah wajah yang cukup dikenal di Washington. Sebelum menjadi penasihat negara pada 2013, pria berusia 66 tahun itu berperan sebagai Menteri Luar Negeri China selama enam tahun. Ia juga pernah menjadi Duta Besar China untuk AS pada periode 2001-2005.
Tidak seperti para diplomat top pendahulunya, seperti Qian Qichen dan Dai Bingguo yang dekat dengan para pejabat tingti China, Yang Jiechi tidak dianggap sebagai bagian dari lingkaran dekat Presiden Xi Jinping. Ia juga diyakini hampir tidak pernah didengar masukannya oleh sang presiden sepanjang waktu.
Akan tetapi, kesuksesan pertemuan Donald Trump dengan Xi Jinping akan dipandang sebagai sebuah warisan yang sangat berharga menjelang masa pensiun Yang Jiechi. Ia akan pensiun setelah masa kepemimpinan Partai Komunis China (CCP) akan mengalami reshuffle pada tahun ini. Pergantian tersebut terjadi setiap lima tahun sekali.
Perbincangan telefon antara Yang Jiechi dengan Penasihat Keamanan AS Michael Flynn pada Februari 2017 mengawali semuanya. Beijing berhasil diyakinkan bahwa Donald Trump siap menghormati Kebijakan Satu China yang sudah berlaku sejak 1970 setelah sebelumnya berkata ingin meninjau ulang.
Perubahan sikap tersebut kemudian berbuah dengan perbincangan telefon antara Donald Trump dengan Xi Jinping pada 10 Februari 2017. Peristiwa tersebut menginspirasi Yang dan diplomat lainnya untuk mewujudkan pertemuan. Ia kemudian melakukan pertemuan singkat dengan Donald Trump di Gedung Putih pada 27 Februari untuk membahas kerangka kerja.
Meski dikenal memiliki tutur kata lembut dan berbicara dengan pelan, Yang Jiechi sesungguhnya mewakili pandangan keras China yang lebih kuat daripada diplomat lain. Ia pernah mengeluarkan pernyataan keras di tengah pertemuan regional di Hanoi, Vietnam, antara Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dengan kompatriotnya di Asia Tenggara pada 2010.
Sembari menunjukkan jari kepada mitranya, Singapura, Yang Jiechi mengeluarkan pernyataan yang membuatnya terkenal. “China adalah negara besar, dan Anda (Singapura) hanya sebuah negara kecil,” ujar Yang Jiechi kala itu.
(Wikanto Arungbudoyo)