Tepat pada 7 April 1994, 10 orang pasukan perdamaian PBB asal Belgia yang berujung penarikan pasukan perdamaian dari Rwanda. Segera setelahnya, stasiun-stasiun radio di Rwanda menyiarkan hasutan kepada suku mayoritas Hutu untuk membunuh seluruh suku minoritas Tutsi di negara tersebut.
Militer dan kepolisian nasional memimpin pembantaian tersebut. Mereka juga mengancam warga sipil dari suku Hutu yang tidak mempan dihasut. Ribuan orang tak berdosa segera menjadi korban hasutan tersebut. Para korban meregang nyawa akibat tebasan golok dari tetangganya.
Meski kejahatan mengerikan tersebut terpampang nyata, komunitas internasional termasuk sang penjaga perdamaian dunia Amerika Serikat (AS), ragu untuk mengambil tindakan. Presiden AS Bill Clinton menyebut kegagalan Negeri Paman Sam untuk menghentikan pembantaian tersebut sebagai penyesalan terbesar selama pemerintahannya.
Pembantaian berakhir setelah Front Patriotik Rwanda pimpinan Paul Kagame berhasil melakukan operasi militer untuk mengontrol negara tersebut. Pada pertengahan 1994, RPF mampu mengalahkan pasukan ekstremis Hutu dan mengusir mereka keluar dari Rwanda.
Namun, semua aksi tersebut sudah terlambat. Sebanyak 75% suku Tutsi yang tinggal di Rwanda serta kalangan moderat Hutu tewas dibunuh oleh ekstremis. Jika dikonversi ke angka, maka jumlah korban tewas mencapai sekira 1 juta orang.
(Rifa Nadia Nurfuadah)