FEATURE: Luka Gunung Slamet dan Darah Demonstran PLTP di Banyumas

, Jurnalis
Sabtu 14 Oktober 2017 11:40 WIB
Foto: Sucipto/Okezone
Share :

BANYUMAS - Cendekia Nuur Khoolik lemas melihat darah yang mengucur dari hidungnya. Ia pasrah. Kedua tangannya dicengkram. Lehernya dipiting. Wajahnya dipukuli sekitar enam orang aparat oknum Polisi dan Satpol PP Banyumas.

Cen, panggilan akrabnya, tidak bisa bernapas lewat hidung. Dadanya sesak. Ia paksakan bernapas dengan mulut meski napas sulit diatur. Dadanya berdegup tak tentu. Sesekali Cen dengar makian dari aparat sambil terus memukulinya.

Waktu itu, Senin 19 Oktober 2017 malam adalah hari yang muram bagi Cen dan 60-an orang Aliansi Selamatkan Slamet yang masih bertahan. Mereka memilih bertahan dan mendirikan tenda di depan gerbang kantor bupati meski hujan sempat turun.

Mereka menggelar aksi sejak pukul 10.00 WIB bersama 400an orang yang terdiri dari masyarakat lereng Gunung Slamet, mahasiswa, dan aktivis lingkungan. Maksud mereka adalah menyampaikan keresahan pembangunan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Gunung Slamet.

 

Berlokasi di depan Gedung Bupati Banyumas, mereka menuntut Bupati untuk menghentikan proyek PLTP yang meresahkan warga tersebut. Namun Bupati Banyumas, Ahmad Husein dikabarkan tidak di tempat.

Massa aksi hanya ditemui oleh Asisten Ekonomi dan Pembangunan Banyumas, Didi Rudwiyanto. "Bupati sedang ke Semarang untuk membahas persoalan PLTP dengan Gubernur," katanya.

Namun, massa aksi bersikukuh untuk bertahan dan menunggu bupati. Menjelang maghrib, hujan turun. Massa aksi mendirikan dua tenda dome dan satu tenda terpal berukuran kira-kira 4x7 meter. Mereka ingin bermalam demi aspirasinya tersampaikan langsung.

Tuntutan mereka adalah menghentikan proyek PLTP Gunung Slamet. Pasalnya pembangunan proyek tersebut membabat hutan lindung. Akibatnya Sungai Prukut yang jadi sumber air sebagian besar warga Kecamatan Cilongok jadi keruh akibat kerukan tanah proyek.

Masalah lain yang timbul adalah turunnya hewan liar ke perkebunan warga seperti babi hutan, rusa, dan kijang. Ketika musim panen tiba, warga Dusun Grumbul Semaya Desa Sunyalangu, Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas tidak bisa meninggalkan lahan pertaniannya karena takut terserang hewan liar.

 

Menjelang pukul 22.00 WIB, langit Banyumas gelap tak berbintang. Sempat terdengar pengeras suara dari aparat dan mengimbau massa aksi untuk membubarkan diri. Saat itu tersisa sekitar 60an orang massa aksi. Mereka bersalawat dan duduk bergandengan tangan menghadap ke kantor bupati.

Sejumput kemudian, keluar 300 aparat Polisi dan Satpol PP dari komplek kantor bupati. Mereka membentuk barikade di depan massa aksi berjarak kurang dari satu meter. Situasi mulai mencekam. Tidak lama berselang, Cen melihat kawannya ditarik aparat. Salawat yang dilantunkan massa aksi mereda. Perlahan berganti teriakan.

Situasi tak terkendali. Massa aksi berpencar. Ada yang berhasil menghindari aparat, ada pula yang tertangkap dan menerima pukulan seperti Cen. Saat Cen dikeroyok oleh aparat, Catur Sasongko - koordinator lapangan aksi - ingin menolong Cen. Namun, Catur malah menjadi sasaran aparat juga dan ikut diseret. Bogem mentah bertubi-tubi menghantam dahi, rahang, leher belakang, serta pipinya. Ia juga berkali-kali mendapat pukulan tongkat aparat. Bagian belakang badannya juga tak luput dari tendangan.

 

Cen dimasukkan ke mobil dalmas sedangkan Catur diseret ke sebuah mobil mini bus. Di dalam mobil, kondisi Cen tidak tentu. Kepalanya berat, perut dan dadanya sakit. Ia tidak tahu siapa saja yang ada di mobil itu karena gelap sekali. Cen dan belasan orang di mobil itu diinstruksikan jongkok dan membuka baju.

Catur Sasongko duduk dengan napas tidak teratur di dalam mini bus. Dahi kanannya mengeluarkan darah. Kaos hitam yang ia kenakan sobek. "Jumlahnya (aparat yang memukul) banyak sekali. Saya tidak ingat," ujar Catur saat diwawancarai Okezone.

Di bagian depan dan kemudi, ia lihat dua orang berseragam polisi. Mereka diam saja. Dalam suasana hening itu, Catur khawatir dan gelisah memikirkan kawan-kawannya. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sesaat kemudian, Catur melihat beberapa aparat menyeret Ahmad Sucipto, ke dalam mini bus bersamnya. Lutut dan dahi Cipto terluka. Ia adalah aktivis Aliansi Gerakan Reforma Agraria Banyumas dan sempat berorasi saat aksi.

"Mukaku dipukulin. Kakiku kena aspal karena diseret," kata Cipto beberapa saat lalu.

Cipto melihat tisu di bagian depan mobil. Karena darah terus keluar dari dahi, Cipto meminta tisu itu kepada polisi di bagian depan mobil. "Nanti saja di kantor," kata Catur menirukan polisi itu.

Sesampai di Polres Banyumas, Catur, Cen, dan Cipto diinterogasi di tempat terpisah. Cipto dan Cen sempat izin ke kamar mandi untuk buang air kecil.

"Pintu enggak boleh ditutup dan dijaga polisi. Mereka bawa senjata," kata Cipto.

"Senjatanya warna hitam panjang. Itu yang buat kita takut. Kita bukan teroris, kok ada yang jaga pakai senjata," sambung Cen.

Di ruang interogasi, Catur menggigil kedinginan karena bajunya sobek. Ia minta baju kepada polisi. Namun, permintaannya tidak dikabulkan. Catur diinterogasi cukup lama.

"Siapa yang mendanai gerakan ini? Parpol mana?" kata polisi yang menginterogasinya.

"Saya jawab sesuai kenyataan: dana hasil swadaya, jualan kaos dan kegiatan aliansi," jawab Catur.

Ia juga sempat ditanya apakah ia seorang sosialis. Catur diam dan bingung. Ia tidak mengerti maksud pertanyaan itu. Karena ia terlihat bingung, pertanyaan dilanjutkan ke pertanyaan lain.

 

Catur keluar ruang interogasi dan terkejut mendapati yang ia lihat. Di luar ruangan, 23 orang demonstran duduk bershaf di lantai tanpa mengenakan baju. Wajah mereka muram dengan tubuh banyak luka. "Ada yang terluka di kepala, siku, dan kaki. Dilihat dari mukanya, terlihat kalau kawan-kawan seperti trauma," kata Catur liris.

Di dalam barisan itu, ada korban salah tangkap, Anjar Setiarma (20). Ia mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Purwokerto. Ia tertangkap saat sedang menikmati malam di selatan alun-alun Purwokerto.

Sekitar pukul 03.00 WIB, pihak kepolisian memberi nasi bungkus kepada mereka. Sebagai bentuk protes, mereka kompak tidak memakannya. Mereka lebih memilih menunggu makanan dari demonstran yang tidak ditangkap polisi.

Anjar juga tidak memakan pemberian polisi. "Perut saya sakit. Tidak nafsu makan," katanya ketika ditemui Okezone di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto beberapa waktu lalu.

Aliansi Selamatkan Slamet merilis data korban pada Kamis 12 Oktober malam. Sebanyak 55 massa aksi alami penganiayaan. Ada anggota pers mahasiswa di dalamnya. Banyak juga yang kehilangan barang berharga dan uang. Biko Nabih Fikri Zufar salah satunya. Ia termasuk orang yang dianiaya dan dibawa ke Polres Banyumas. "Uang saya Rp 70 ribu hilang. Padahal di dompet," katanya.

Ketika ditangkap dan dimasukkan ke mobil Dalmas, demonstran memang dipisahkan dari barang bawaannya.

Seorang wartawan Metro TV, Darbe Tyas juga menjadi korban kekerasan aparat. Ia dihalang-halangi merekam kejadian. Darbe juga mendapat kekerasan fisik serta makian. Kasus Darbe saat ini sedang ditangani kepolisian. "Saya sudah memberi laporan. Saya serahkan prosesnya ke polisi," kata Darbe ketika ditemui di gedung Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Banyumas.

Selang dua hari pasca kejadian, 4 tersangka ditetapkan sebagai orang yang melakukan tindak kekerasan terhadap Darbe. Berbeda dengan kasus yang menimpa Darbe, aparat pelaku kekerasan kepada massa aksi belum ditetapkan. "Kita sedang buat laporannya. Kita didampingi LBH Jogjakarta dan LBH Sikap Purwokerto," kata Adhi Bangkit, tim advokasi Aliansi Selamatkan Slamet.

Kekerasan yang menimpa Cen, Cipto, Catur dan puluhan massa aksi lain, bukan membuat mereka gentar. Mereka satu suara bahwa sesuatu yang sedang mereka perjuangkan akan tetap mereka suarakan.

"Kami jujur malah tambah semangat. Aksi ini untuk kita bertahan hidup," kata Catur.

"Teman-teman kita solid. Isu ini harus dilanjutkan," kata Cen yang ketika diwawancara luka di lututnya belum kering.

Cen ingat betul kekompakan teman-temannya di tengah tekanan dan kekerasan yang mereka alami. Sebelum ia dan 22 orang yang ditangkap dipulangkan dari kantor Polisi pada Selasa 10 Oktober 2017 siang, mereka berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya.

"Kita tutup dengan yel-yel 'Selamatkan Slamet' dan seruan untuk melanjutkan perjuangan," kata Cen.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya