Zulkifli Hasan, antara Pilkada, MPR dan Pilpres 2019

Bayu Septianto, Jurnalis
Sabtu 20 Januari 2018 14:34 WIB
Ketua MPR Zulkifli Hasan (Dede Kurniawan/Okezone)
Share :

PENGALAMAN memimpin berbagai perusahaan selama puluhan tahun menjadi modal Zulkifli Hasan memimpin partai politik hingga lembaga tertinggi negara. Duduk di kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2014-2019, masa jabatan pria asli Lampung ini cenderung adem-ayem, jauh dari perseteruan politik.

Nyatanya, kata Zulkifli, menjaga konsitusi dan persaudaraan kebangsaan Indonesia adalah tugas yang sungguh tidak ringan, apalagi di saat-saat seperti tahun politik saat ini.

“Kita saksikan persaudaraan kebangsaan mulai memudar, kadang-kadang gara-gara Pilkada menghalalkan semua cara. Ada juga yang mengatakan; kelompok saya maka teman saya, kalau bukan maka lawan saya. Tentu ini harus kita luruskan,” tutur Zulkifli.

Saat Okezone bertandang ke rumah dinasnya di Widya Chandra, Jakarta Selatan, belum lama ini, Zulkifli bercerita banyak tentang tugasnya sebagai ketua MPR dalam menjaga keutuhan NKRI, keluarga hingga berbagai keinginan yang masih belum ia capai. Berikut petikannya:

Lebih asyik mana, memimpin perusahaan, partai politik atau lembaga tertinggi negara?

Sama aja, masing-masing ada kesulitan, ada seninya sendiri. Jadi pengusaha tidak mudah, apalagi kalau memimpin banyak anak buah, harus mengambil risiko investasi, menghadapi rugi laba, perkembangan teknologi, inovasi dari negara-negara lain atau persaingan. Tentu tidak mudah.

Tapi saya kira, pengalaman sebagai pengusaha itu memberikan modal bagi kita untuk berkecimpung di bidang-bidang lain, seperti politik. Saya juga pernah menjabat sebagai menteri perhutanan, memimpin fraksi, menjadi sekjen partai, sekarang memimpin MPR. Itu lembaga yang tugas-tugasnya itu sungguh tidak ringan. Karena diatur oleh Undang-Undang untuk memperkuat persatuan.

 Zulkifli Hasan (Dede Kurniawan/Okezone)

Berbicara soal persatuan, bagaimana Anda melihat Pilkada, mengingat ada berbagai aspek yang berpotensi memecah NKRI?

Pilkada itu kan sederhana, sebuah pilihan antarkita bersaudara, antarteman yang ingin berbuat terbaik untuk kabupatennya, kotanya, provinsinya. Kita bukan melawan orang lain atau orang asing, terkadang antardua teman. Tapi kenapa harus menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan itu, apalagi sampai memakai isu SARA.

Janganlah mempertaruhkan segalanya untuk sebuah Pilkada. Apalagi banyak juga yang hanya bertahan satu-dua tahun karena terkena masalah.

Jadi, marilah adu konsep, adu gagasan di Pilkada ini, kita kembangkan politik kebangsaan. Toh kalau tidak menang, 5 tahun lagi ada waktu untuk berkompetisi lagi gitu.

Hentikan saling menista, saling menghujat, memakai isu-isu SARA; itu berbahaya. Itu namanya mempertaruhkan segalanya, mempertaruhkan kesatuan, mempertaruhkan apa bangsa untuk sebuah even yang dalam demokrasi itu sesuatu yang biasa.

Pilihan dalam Pilkada itu boleh beda, tapi kan Merah Putih kita sama, NKRI kita sama.

Jadi, fokus pada inti Pilkada, bukan prosesnya?

Pilkada itu kan ingin melayani rakyat. Kalau seseorang terpilih menjadi bupati atau gubernur, sumpahnya cuma satu 'Saya bersumpah taat kepada konstitusi'. Konstitusi Pancasila artinya Undang-Undang Dasar Negara 45. Isinya cuma satu, 'melayani negara’, titik.

Jadi menjadi bupati, menjadi gubernur, menjadi DPR itu jangan dianggep jalan singkat untuk mencari kekayaan, untuk mencari proyek, itu yang keliru. Atau jalan singkat untuk menjadi penguasa, otoriter, menjadi segala-galanya. Tidak. Sesuai dengan sumpah kita, apakah DPR, apakah Bupati, apakah Gubernur, itu melayani.

Nah kalau melayani kan mengajukan program-program terbaik untuk rakyat. Kenapa mesti berkelahi, kenapa mesti habis-habisan, kenapa mesti mengorbankan persatuan, kenapa mesti mengorbankan persaudaraan, kenapa mesti merobek-robek Merah Putih, begitu. Kan Merah Putih kita sama.

Jangan, terlalu murah; mengorbankan nilai-nilai yang begitu luhur untuk sebuah pilihan rutin dalam proses demokrasi. Apalagi kita sudah puluhan tahun, tentu diharapkan semakin matang, semakin maju, semakin dewasa.

Lantas, bagaimana kondisi demokrasi di Indonesia?

Semakin hari saya lihat semakin bagus. Sekarang ramai debat-debat di TV, radio, di koran. Tapi saya bersyukur, seramai apa pun, sudah berapa kali kita Pilkada serentak, tidak ada rumah yang terbakar, tidak ada yang meninggal. Kita syukuri nikmat Tuhan yang telah diberikan kepada kita. Bahwa berdiskusinya agak kasar, saya percaya mungkin setahap demi setahap, ya tahun demi tahun saya kira akan lebih bagus. Saya meyakini itu.

Selain perkembangan demokrasi, Zulkifli juga menyoroti massifnya penyebaran informasi melalui media sosial yang kini cenderung dipercaya masyarakat. Ia menilai, ada 3 faktor yang mendasari hal tersebut yaitu kesenjangan ekonomi, kesenjangan politik dan ketidakpercayaan sosial.

Kesenjangan ekonomi, kata Zulkifli, kini amat mudah terlihat melalui penyebaran informasi melalui berbagai posting-an di media sosial.

“Dengan zaman teknologi seperti sekarang ini, perbedaan yang mencolok antardaerah jadi terlihat. Semua terbuka, jadi orang cemburu dan menciptakan kesenjangan,” tukasnya.

Sementara itu, kesenjangan politik timbul ketika rakyat kecewa dengan wakil, baik di eksekutif maupun legislatif, yang telah mereka pilih.

“Contohnya berbagai kasus penangkapan para kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Itu membuat rakyat marah, membuat rakyat tidak percaya kepada parlemen, tidak percaya kepada partai politik. Itu yang disebut kesenjangan politik,” tambahnya.

Sedangkan faktor ketidakpercayaan sosial lahir karena rakyat mengalami kekecewaan pada berbagi organisasi kemasyarakatan (ormas) yang tidak memperjuangkan hal yang sama dengan kepentingan mereka. Belum lagi pada pemberitaan media yang sering berpihak. Akhirnya, menurut Zulkifli, orang lebih memilih mencari informasi sendiri melalui berbagai saluran.

“Ah sudahlah, saya percaya pada handphone saya saja, jadi tidak peduli hoaks atau tidak hoaks. Jadi lama-lama, masyarakat pun percaya pada hoaks,” tuturnya.

Meski begitu, Zulkifli meyakini, semua pihak bisa memerangi hoaks. “Kita benahi berbagai kesenjangan tadi. Kita benahi politik kita. Sehingga secara bertahap, perilaku-perilaku yang saya anggap menyimpang itu bisa kita luruskan kembali,” tegasnya.

Berbagai kesenjangan itu jugakah sebabnya beberapa tahun terakhir, MPR gencar menggelar sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan?

Kita ini sudah 72 tahun merdeka dan sepakat satu bangsa, satu bahasa, satu negara, satu bendera, satu cita-cita. Bahwa kita beragam, sukunya banyak, pulaunya banyak, bahasanya banyak, agamanya banyak, itu fakta. Tapi sudah disepakati 70 tahun lalu.

Jadi jika sekarang ribut-ribut lagi soal itu, berarti kita mundur. Inilah tugasnya MPR, tugas kami untuk mengingatkan kembali. Oleh karena itu saya berkeliling Nusantara, menyampaikan kepada berbagai kalangan, 'Yuk kita jangan mundur lagi dong.’

Kalau sudah sepakat 72 tahun lalu, sekarang ribut lagi soal itu, lah terus kita kapan majunya? Orang sudah ke bulan, orang sudah ke mana-mana, ya, kita masih ribut lagi soal-soal yang sudah disepakati 72 tahun yang lalu.

Tantangan kita kan sekarang bagaimana Indonesia 50 tahun yang akan datang dengan penduduk mencapai sekira 500 juta. Bagaimana menyiapkan pangan, energi, infrastruktur, dan lain-lain. Jadi daripada berkutat dengan berbagai masalah yang sudah disepakati tadi, banyak pikiran yang diperlukan oleh anak negeri ini. Toh memang sunatullah kita itu berbeda-beda, kita itu beragam. Itulah Indonesia. Kalau sama, kan bukan Indonesia namanya.

Bagaimana dampak sosialisasi 4 pilar tersebut hingga saat ini?

Tentu kalau MPR sendiri memang enggak optimal. Tentu harus diikuti oleh lembaga-lembaga lain seperti dulu. Sebab, membangun karakter bangsa itu tugas sepanjang masa, tidak hanya setahun dua tahun melainkan proses yang terus menerus.

Kita berharap seperti dulu, ada berbagai pelatihan seperti Penataran P4 dan pendidikan Pancasila. Kalau bagus, ya jangan dibuang, tentu metodenya disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Dan media terutama harusnya juga ikut partisipasi. Karena media ini kan salah satu pilar demokrasi yang penting.

Lembaga tinggi negara kerap digoyang isu organisasi karena berbagai hal, dari perseteruan politik hingga kasus-kasus korupsi. Bagaimana Anda menjaga dinamika MPR agar terhindar dari berbagai konflik serupa?

 

Kita jangan berkhianat. Rakyat itu mempercayai wakil-wakilnya. Saya kira sudah tidak ada tempat lagi untuk korupsi. Apalagi di Parlemen; mengolah anggaran, main anggaran. Jika memiliki uang banyak, mobil bagus, rumah bagus, tetapi semua berdiri di atas penderitaan rakyat miskin, maka moral kita ada di mana ? Itu mesti kita hentikan.

Dan sudah banyak contoh, sudah 18 Gubernur mungkin ratusan bupati, saya kira cukuplah. Mari kita belajar, hentikan korupsi ini.

Jangan ada toleransi terus terhadap korupsi. Dengan korupsi, kita tidak kreatif. Akal kecerdasan kita hilang, inovasi kreativitas hilang.

Jadi bagaimana cara Anda membuat MPR tetap kompak, aman dari berbagai isu tadi?

Sesuai namanya, MPR itu majelis permusyawaratan. Kami, ada lima pimpinan, selalu bermusyawarah mengambil keputusan bersama-sama.

Memang awalnya lama karena mesti rapat, mesti diskusi. Lama-lama sudah saling pengertian, sehingga pengambilan keputusan pun lebih cepat karena benar-benar pakai azas musyawarah mufakat. Jadi adem, enggak ada masalah.

DPR ini kan sudah beberapa kali ganti pimpinan. Tentu itu memberikan pelajaran yang tidak baik.

Bagaimana Anda mewujudkan komitmen mendukung Pemerintahan Jokowi-JK hingga selesai masa jabatan di 2019?

Tentu sampai mereka selesai menjabat.

Saya mendukung tapi tidak membabi buta. Kalau pemerintahnya kurang tepat, ya kita koreksi. Kalau bagus, ya kita bilang bagus.

Misalnya impor beras, saya tidak setuju. Saya bilang, 'Pak Menteri, jangan impor sekarang, beberapa hari lagi rakyat akan panen. Kalau Anda impor beras, rakyat itu waktu tanam padi harganya mahal, waktu panen harganya murah, kasihan. Nanti importir untung di atas penderitaan rakyat, itu tidak benar.’

Apa rencana Anda untuk Pilpres 2019?

Selesaikan tugas-tugas MPR dan Pilkada dulu, nantilah kita bicarakan. Belanda masih jauh.

 

Bagaimana dengan PAN, strategi seperti apa untuk menghadapi Pilpres 2019?

Mengalir saja.

Tapi kan sudah punya visi?

Memang dengan 20 persen (presidential treshold) itu dinamikanya tidak banyak. Jadi mungkin dua kandidat.

Jangan lupa, hati-hati lho. Sekarang undang-undang membolehkan calon tunggal. Tapi nantilah kita bahas soal itu ya. Masih panjang.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya