JAKARTA – Joko Widodo sebagai petahana disarankan untuk tidak terlalu reaktif dengan serangan yang dimainkan sang penantang, Prabowo Subianto-Sandiaga uno.
Pangi Syarwi Chaniago, pengamat Politik, sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting menilai, Jokowi mempunyai keuntungan. Jokowi cukup fokus pada pencapaian dan target kerja yang sudah tercapai, “sehingga tersampaikan dengan baik ke publik apa yang menjadi prestasi dan kinerja keberhasilan pemerintah, ujungnya masyarakat puas,” katanya kepada Okezone, Jumat (4/1/2018).
Pangi berujar setiap pernyataan dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-KH Maruf jangan masuk ke wilayah destruktif dengan menyerang karakter pribadi, jangan coba-coba masuk ke zonasi pusaran air yang bisa menenggelamkan siapa pun.
“Yang saya heran menggapa tim petahana belakangan sangat gandrung menyerang dengan isu identitas dari pada membuka kotak pandora prestasi, capaian kinerja petahana? Ini jelas wilayah pertempuran yang berbahaya bagi incambent,” tutur Pangi.
“Kesalahan dalam menentukan tema kampanye, reaksi berlebihan terhadap sebuah isu bahkan pemilihan kata dan diksi yang salah bisa berdampak buruk pada image kandidat secara langsung,” lanjutnya.
Pangi membandingkan saat Prabowo dalam kasus hoaks Ratna Sarumpaet. Prabowo harus menelan pil pahit dengan mendapat sentimen negatif dari publik sebagai akibat salah dalam menentukan sikap. “Artinya, sentimen negatif publik terhadap isu sangat tinggi dan dapat dipastikan akan merugikan Prabowo. Begitu juga dalam isu-isu lain seperti Tampang Boyolali yang sentimen negatif terhadap citra Prabowo, bahkan bisa mengerus elektabilitas sang penantang.”
Baca: Sekjen Perindo: Komitmen Pak Jokowi Memperkuat KPK Tak Perlu Diragukan
Baca: Polri: Penyebar Hoaks 7 Kontainer Surat Surat Tercoblos Dijerat Pasal Berlapis!
Sementara untuk kubu Jokowi, sikap reaktif dan reaksioner terhadap sebuah isu dan kritik oposisi juga berdampak negatif. “Politik Sontoloyo misalnya direspon negatif dengan tingkat ketidak-sukaan hasil riset voxpol center mencapai 65 persen,” ungkap Pangi.
Namun di sisi lain, ketika pemerintah fokus pada kinerja, memakai kaca mata kuda dan tak terpancing, justru publik memberikan respon positif, hal ini bisa dilihat dalam baberapa isu utama seperti penyelenggaraan Asian Games, kunjungan ke korban gempa dan Tsunami Palu, kunjungan ke korban gempa Lombok dan kunjungan Tsunami Selat Sunda.
Kubu Prabowo juga mendapat insentif secara tidak langsung dari beberapa isu yang dianggap sebagai kelemahan pemerintah, isu tersebut di antaranya kurs Rupiah yang sempat menyentuh angka Rp 15.000, kasus pembakaran bendera HTI sampai aksi reuni 212.
Dari pemaparan kasus di atas, dapat diambil pelajaran penting bahwa probalitas incambent memenangkan kontestasi elektoral pilpres 2019 masih sangat besar, dengan catatan tetap fokus pada kinerja dan kerja nyata dan tidak terpancing untuk memberikan respon dan bersikap reaktif berlebihan merespon/menyikapi isu yang sengaja didesain dan digoreng team lawan politik.
Oleh karena itu, kata Pangi sikap reaktif berlebihan ini justru akan mengalihkan fokus pemerintah yang pada akhirnya membuat performa pemerintah menurun. “Saya tidak tahu, apakah tim Jokowi sadar atau tidak? Jika situasi ini terus dibiarkan terjadi tentu akan menjadi keuntungan bagi sang penantang di tengah miskinnya narasi kampanye sebagai alternatif yang ditawarkan kepada publik.”
Padahal banyak kepemilikan isu yang dibahas seperti ketimpangan sosial, keadilan, penegakan hukum, mengurangi kemiskinan, isu pembangunan, isu kesehatan, memberdayakan kelas menengah ke bawah.
“Apakah karena Prabowo kehabisan energi menembak isu di atas sehingga mulai bergeser masuk ke isu yang memantik emosional publik. Coba pak Prabowo menanyakan bagaimana cara Pak Jokowi menjaga dan menegakkan keadilan serta hukum?” tutur Pangi.
Dalam pendekatan politik identitas, capres dan cawapres menyajikan narasi yang dangkal, sehingga memakai jalan pintas melupakan perbedatan soal adu program, ide dan adu gagasan.
Parahnya lagi, kubu pemerintah terlihat gamang memframe, mensosialisasikan capaian yang sudah dicapai, program dan keberhasilan pemerintah. “Menurut pikiran saya, sebagai incambent ngak perlu reaksioner, cengeng, baper merespon setiap kritikan atau tuduhan berbau politis yang dituduh sang penantang ke petahana, di bawah santai aja, saya ngak melihat Jokowi yang dulu “Gak Mikir” Pokoke Aku “Rapopo.”
Pangi melihat tren belakangan adalah kampanye yang berputar pada isu politik identitas, adu kesalehan dengan adanya tantangan lomba baca Alquran, “itu konyol dan akan menjadi preseden buruk, bentuk atraksi kesalehan fisik yang dangkal dan norak banget, tak mencerdaskan, tak ada pendidikan politiknya.”
“Saya ingin katakan begini, elite tidak melakukan pendidikan politik yang bermutu pada masyarakat. Elite politik punya tanggung jawab moral bagaimana merawat konsensus kebangsaan, menjaga NKRI, kebhinekaan, dan kemajemukan kita. Jangan kemudian narasi emosional dieksploitasi melampui dosisnya,” papar Pangi.
(Rachmat Fahzry)