JAKARTA – Penyebaran hoaks terkait Pilpres 2019 memadati ranah media sosial (medsos). Hoaks bisa merusak akal sehat dan keutuhan bangsa. Mari bergandengan tangan menangkal hoaks dengan kebaikan yang kolektif, berlandaskan akal budi yang sehat dan kesadaran beragama.
Inilah pesan yang ingin disampaikan dalam diskusi Rabu Satu yang mengangkat tema "Hoax, Golput, dan Masa Depan Bangsa", di Rumah Cemara, Jakarta, Rabu (10/4/2019).
Rabu Satu Talkshow kali ini dibuka oleh Fiki Satari, Direktur Konten Tim Kampanye Nasional Jokowi-Amin yang menekankan urgensinya perang melawan hoaks dalam kontestasi pilpres dan pileg yang akan digelar dalam beberapa hari ke depan. Fiki memaparkan beberapa contoh isu hoaks seperti hasil pemilu di luar negeri, hasil survei, hingga hoaks-hoaks lain yang tidak hanya menyerang salah satu pasangan calon, namun bahkan mencoba menjatuhkan kredibilitas Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini, ditekankan oleh Fiki, harus mendapat perhatian penuh dari masyarakat dan mengundang semua pihak untuk menjadikan hoaks dan dusta politik sebagai musuh bersama.
Dalam keterangannya, Rabu Satu kali ini menghadirkan narasumber yang kredibel dalam berbagi pengalaman melawan hoaks. Mereka adalah Mantan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang dan politikus PDIP Budiman Sudjatmiko, serta Praktisi Digital Marketing Aswin Regawa sebagai moderator.
Berdasarkan data, jumlah hoaks terkait Pilpres 2019 yang lalu-lalang di dunia medsos telah menembus angka 1.200 pada periode Agustus 2018-Maret 2019. Aswin Regawa menyampaikan, kondisi ini tentu berpengaruh terhadap kontestasi pilpres. Bahkan, bukan tidak mungkin, jika hoaks akan terus bertambah mendekati hari pencoblosan, 17 April 2019.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran dalam diri Tuan Guru Bajang (TGB). Sebab, pemilu merupakan suatu proses untuk memperbaiki dan menciptakan kemaslahatan bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu, perang melawan hoaka menjadi sangat penting bagi setiap warga negara Indonesia maju.
"Yang disasar hoaks itu aset kita yang paling berharga, intangible asset, yakni persatuan dan persaudaraan. Hoaks merusak perekat kita sebagai suatu bangsa," kata TGB.
TGB mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menjadikan hoaks musuh bersama. Terutama umat Islam yang kerap dijadikan sasaran. "Dalam surat Al-Isra' ayat 36 disebutkan, "Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya". Kita sebagai umat Islam akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah kelak," ujar TGB.
Hendaknya, lanjut TGB, ayat tersebut menjadi pegangan dalam menetapkan suatu standar dalam mengonsumsi makanan rohani. Kita tetapkan standar berdasarkan akal dan pikiran serta kedewasaan beragama.
"Jika kita datang ke pengajian yang isinya ujaran atau umpatan terhadap seseorang, tinggalkan! Karena itu bukan sesuatu yang pantas kita dengar. Itu bukan makanan rohani, ini toxic," tutur TGB.
Selain merusak keutuhan bangsa, hoax juga menimbulkan rasa kebimbangan para pemilik suara terdaftar dalam Pilpres 2019. Namun, TGB mengingatkan, sesungguhnya berpartisipasi dalam pemilu bagian dari ibadah dan bentuk tanggung jawab moral kita sebagai anak bangsa.
TGB berpesan, lihatlah rekam jejak calon pemimpin dalam kancah Pilpres 2019. "Cari yang paling banyak maslahatnya. Nanti ketemu yang paling sedikit mudharatnya. Cek sejarahnya di ruang publik," ujarnya.
Sementara, politikus PDIP Budiman Sudjatmiko menjelaskan, semburan dusta politik menyasar kapasitas rasional dan etika otak manusia. Memicu perilaku manusia yang paling purbawi, yakni insting survival.
Di era disruptive technology seperti saat ini, wajah kehidupan ekonomi dan sosial telah berubah drastis. Disruptive memberikan kesempatan bagi mereka yang pintar membaca peluang dan memiliki skill set yang tepat untuk menjadi kaya. Menciptakan keresahan bagi mereka yang tidak ter-update perkembangan zaman.
"Kok bisa anak penjaga wartel jadi bos e-commerce besar. Anak muda jadi bos. Hidupku rentan. Insting survival mereka terpicu. Celakanya ini yang disasar hoaks politik," ujarnya.
Dalam penelitian Cambridge pada tahun 2016, terhadap lebih dari 30 negara yang akan melaksanakan pemilu, orang Indonesia tidak memiliki permasalahan di bidang politik yang signifikan. Justru orang Indonesia lebih banyak merespons hal-hal sederhana yang mereka tidak sukai, seperti film dan olahraga.
Sayangnya, lanjut Budiman, bagian otak yang merespons hal-hal sederhana tadi, merupakan bagian yang sama dalam merespons hoaks politik. "Dengan jumlah hoaks yang masif pada akhirnya retorika politik murahan memainkan emosi. Orang tersebut menjadi emosional menyikapi perubahan, termasuk perubahan yang positif," katanya.
Menurut Budiman, orang perkotaan yang individual lebih mudah terpapar hoaks karena tidak memiliki jaring pengaman sosial yang kuat. Sebaliknya, masyarakat desa yang hidup kolektif memiliki tingkat resiliensi yang tinggi terhadap hoaks.
Oleh karena itu, milenial yang memiliki pengetahuan dan pemahaman perkembangan zaman di era disruptive ini harus mengambil panggung. Ikut menjadi bagian dalam menciptakan perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik.
Baca Juga : Bawaslu Awasi Ketat "Serangan Fajar" Jelang Pencoblosan
"Saya tidak pernah berpikir menjadi golput. Tidak memilih adalah proklamasi saya kalah. Pecundang. Kita harus ambil bagian dalam arus perubahan," tutur Budiman.
Rabu Satu Talkshow kali ini menjadi penutup sebelum menyambut hari Pemilihan Umum 17 April 2019, yang jatuh minggu depan.
Baca Juga : TKN: Jokowi-Ma'ruf Bakal Luruskan Isu Utang Luar Negeri di Debat Kelima
(Erha Aprili Ramadhoni)