Sehingga kata dia, dalam tradisi apapun, selama konteksnya menyucikan fisik dan rohani dengan cara mandi dan berdoa misalnya, selama tidak meminta kepada selain Allah SWT maka hal itu tidak masalah. Namun, jika terdapat unsur kemusyrikan maka menurut dia, perbuatan itu wajib ditinggalkan.
"Lalu masuk kita ke tradisi padusan. Apa dalam fakta tradisi yang bertentangan? saya kira sekilas ada di dalam prosedur dan tata cara saja. Kalau tradisi padusan nama simbol tidak masalah, tapi kalau bercampur antara laki-laki dan perempuan serta menampakkan aurat maka itu jadi haram. Dalam fiqih kan ada batasannya kalau perempuan auratnya semua tubuh sehingga rambut tidak boleh kelihatan. Bagaimana satu kolam pasti itu melanggar syariat. Kalau aurat laki-laki dari lutut sampai pusar," katanya menguraikan.
Menurutnya, bagaimana agar tradisi padusan ini tetap berjalan yakni dengan cara memisah antara tempat mandi laki-laki dan perempuan. Bagi laki-laki diimbau untuk tetap mengenakan celana, sedangkan perempuan memakai kain untuk menutup auratnya.
"Tradisi padusan tidak masalah asalkan perempuan dengan perempuan, tidak boleh bercampur dengan laki-laki," ujarnya.
Lebih lanjut Muhibbin mengatakan bahwa, yang perlu dipersiapkan umat Islam menyambut Ramadan ialah kesehatan jasmani dan rohani. Jasmani misalnya, muslim dituntut memerhatikan kebersihan dan kesehatan tubuh serta lingkungannya. Hal itu bisa dilakukan dengan makan, berolahraga dan istirahat yang cukup.
Sementara dalam aspek rohani bisa dengan sering-sering membaca Alquran dan perbanyak zikir serta istighfar. Yang tak kalah penting tentunya saling bermaafan baik kepada teman, saudara dan maupun keluarga. Sebab, dosa antar sesama manusia takkan bisa luntur tanpa adanya ridho dari yang bersangkutan.
"Maka masuk ke puasa itu berarti nol dalam posisi tidak membawa beban kotoran baik pada hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah) maupun hablumminannas (hubungan antarsesama manusia)," kata Muhibbin.
(Rizka Diputra)