MALANG – Coban Jahe menjadi saksi bagaimana para perjuang mempertahankan kemerdekaan pasca proklamasi 17 Agustus 1945. Di kawasan hutan yang dinamakan Kalijahe inilah pejuang gerilyawan berusaha menghadapi serangan dari Belanda dan pasukan sekutu yang berusaha kembali menguasai Indonesia.
Dimana saat itu dari sekitar 150-an pasukan yang disebut Kompi Gagak Lodra dibawah pimpinan Kapten Sabar Sutopo, 38 pasukan gugur lantaran serangan dari pasukan Belanda yang ada di sekeliling bukit.
Sejarawan sekaligus pegiat sejarah Malang Eko Rody Irawan menuturkan saat itu pasukan ini mendapat tugas khusus dari Hamid Rusdi menuju Tosari melalui lautan pasir Gunung Bromo, untuk merebut pos Tosari yang berhasil ditaklukkan Belanda pada 22 Desember 1948. Namun saat pasukan perjalanan ke Pasuruan, terhalang oleh pertahanan yang kuat oleh Belanda.
BACA JUGA: Coban Jahe, Kisah Kelam Pembantaian Gerilyawan oleh Pasukan Belanda
“Dari sana pasukan kembali ke arah Malang dan sampai ke Kalijahe. Namun di Kalijahe ini mereka terjebak hujan dan cuaca buruk selama dua hari di hutan Kalijahe. Tapi saat berada di Kalijahe ini para pasukan diserang dari atas pegunungan oleh pasukan Belanda,” ujar Eko saat dikonfirmasi.
Eko menjelaskan bila meski para pejuang telah berhati – hati dan berjalan kaki di sepanjang hutan lembah untuk menghindari pasukan Belanda, ternyata ada warga pribumi yang membocorkannya.
“Ada warga kita yang membocorkan ke Belanda mengatakan ada pasukan gerilyawan ini berada di lembah hutan Kalijahe. Kan memang warga sendiri ada yang pro dan kontra Belanda. Jadi mungkin Belanda ini bisa memprovokasi untuk menjadi mata – mata,” terang pria yang juga pengelola Museum Reenactor Ngalam.
BACA JUGA: Kisah Kakek Pejuang Kemerdekaan Pengintai Pergerakan Belanda yang Berakhir di Jalanan
Pertempuran selama dua hari di Coban Jahe ini berjalan tak seimbang, pasukan Belanda yang menggunakan senapan otomatis dan granat yang berada di atas bukit dengan kekuatan pasukan lebih banyak, harus melawan gerilyawan pejuang Indonesia dengan persenjataan senapan rampasan perang yang berada di lembah atau bawah bukit. Belum lagi saat pertempuran kondisi hujan dan kabut membuat pejuang Indonesia kesulitan melihat lawan.
“Hasilnya ya dari ratusan pasukan itu 38 pejuang kita gugur, sementara yang selamat diperkirakan 150 orang tapi akhirnya mundur dan melarikan diri melalui sungai menuju kampung,” ucapnya.