Sementara pada sore hingga malam hari lanjut Cak Kus, para siswa tersebut biasanya ada les tambahan atau belajar mengaji di kediamannya. Uniknya, setiap anak di tingkat pendidikan lebih tinggi mengajarkan ke anak yang lebih rendah, jadi yang kuliah mengajar siswa SMA, pelajar SMA juga mengajarkan materi – materi untuk teman – teman SMP, begitu seterusnya.
“Kita namakan pengajar sejawat. Jadi dari yang SMA mengajar ke yang SMP, SMP mengajar yang SD. yang SD juga begitu, kita menjadi pendampingan. Kalau yang les ini biasanya membahas kalau adik – adik ini ada PR dari sekolahnya, nggak bisa terus belajar bersama. Kita ajarkan juga mengaji,” bebernya.
Untuk operasional gubuk bacanya, Cak Kus meminta para siswa membawa sampah – sampah plastik dari rumahnya. Sampah plastik inilah yang biasanya diolah dan hasilnya dijual guna kebutuhan operasional mulai membeli kapur tulis, buku, hingga kelengkapan alat tulis di gubuk baca.
“Sampah – sampah plastik yang adik – adik bawa itu kita olah, jadi yang layak kita pilih – pilih kita olah biasanya kita bentuk pot bunga dari sampah dan kita jual. Kalau lainnya biasanya kita jual rombengan. Hasilnya kita buat operasional beli kapur tulis, buku, dan alat tulis lainnya,” paparnya.
Salah seorang siswa Salsabila Rodhia Hayatul mengaku senang bisa belajar sambil bermain di gubuk. Di gubuk inilah ia setiap hari belajar dan berkreasi selama masa pandemi Covid-19.
“Disini belajar dan menari membayarnya pakai sampah, senang bisa belajar bareng - bareng,” tutur siswa kelas 2 SD ini.
Kini pria yang akrab disapa Cak Kus berharap gubuk bacanya bisa memberi manfaat positif kepada anak - anak Dusun Busu. “Harapannya mereka ini bisa belajar, mendapat ilmu baru yang bisa dimanfaatkan di kemudian hari,” tukasnya.
(Amril Amarullah (Okezone))