Mengupas Narasi Kekerasan G30SPKI dari Sisi Peneliti Sejarah

Harits Tryan Akhmad, Jurnalis
Selasa 29 September 2020 15:09 WIB
Tangkapan Layar Media Sosial
Share :

JAKARTA - Peneliti Sejarah 1965, Grace Leksana menyatakan bahwa pascaperistiwa kekerasan dan penghilangan paksa pada tahun 1965 narasi yang muncul di publik tak berimbang.

Kata Grace, narasi kekerasan yang terjadi di tahun 1965 itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan narasi peristiwa Gerakan 30 September (G30S) PKI.

(Baca juga: Peristiwa Kekerasan 1965 di Mata Sejarawan John Roosa)

"Posisi sekarang tidak sangat berimbang, narasi kekerasan itu jauh lebih sedikit dibanding dengan narasi G30S-nya itu," ujar Grace dalam diskusi bertajuk 1965:Sejarah yang dikubur, Selasa (29/9/2020).

Ia melanjutkan salah satu faktor mengapa narasi G30S lebih banyak lantaran sudah masuk ke ranah formal. Narasi Gerakan 30 September yang masuk ke ranah formal melalui pendidikan, museum ataupun hari-hari peringatan.

(Baca juga: Kesaksian Putri Jenderal Nasution saat Malam Jahanam di Teuku Umar 40)

"Lebih karena narasi tentang G30S sudah masuk ke ranah formal. Lewat pendidikan, lewat museum dan hari-hari peringatan," imbuhnya.

Lebih jauh menurut Grace, narasi dan stigma yang terkait peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 ini akan terus berjalan dan berkembang di masyarakat. "Dan itu yang menjadi membentuk masyarakat kita," tandasnya.

Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal dengan sebutan G30S/PKI pecah di Jakarta dan Yogyakarta. Di mana saat itu terjadi pemberontakan PKI, dengan menculik enam perwira tinggi dan satu perwira TNI Angkatan Darat diculik, lalu dibunuh, dan bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Seokarno.

Gerakan tersebut dipimpin langsung oleh DN Aidit yang saat itu merupakan ketua dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembantaian itu dilakukan secara kejam.

(Fahmi Firdaus )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya