“Kita harus menargetkan jentik nyamuk di tempat-tempat yang sekarang muncul dan mencegah penyebaran nyamuk dari jarak jauh, misalnya melalui bandara dan pelabuhan laut. Jika gagal, risiko malaria perkotaan akan meningkat di sebagian besar Afrika,” urai penulis studi Fitsam Tadesse, seorang mahasiswa doktoral di departemen mikrobiologi medis di Radboud University Medical Center.
Profesor pengendalian malaria dan biologi vektor di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Jo Lines menilai temuan studi itu sangat signifikan.
“Ketika hal-hal ini pertama kali tiba, orang-orang berkata itu hanya nyamuk, dan kami akan mengkhawatirkannya ketika itu vektor,” terang Lines, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, kepada CNN.
“Intinya adalah, Anda bisa menyingkirkannya ketika masih baru, jika Anda menunggu sampai cukup mapan, sehingga Anda menyadari bahwa itu benar-benar menyebabkan wabah penyakit ... Maaf, sudah terlambat. Yang bisa Anda lakukan hanyalah atasi masalahnya,” lanjutnya.
Lines menegaskan contoh sebelumnya dari nyamuk regional yang “mendunia” seperti nyamuk macan Asia, yang sekarang dalam proses menyerang Eropa utara harus menjadi peringatan jika tindakan dini diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
“Saya pikir kita membutuhkan rasa urgensi yang lebih besar tentang ini, pada skala kontinental daripada yang kita lakukan saat ini,” terangnya.
“Jika kita menunggu sekarang sampai kita tahu lebih banyak, akan terlambat untuk menyingkirkannya. Ini bukan lagi pijakan yang mungkin ingin Anda singkirkan, itu akan menjadi salah satu nyamuk asli dari sebagian besar Afrika Timur,” tambahnya.
Lines memperingatkan jika Anopheles stephensi menyebar ke kota-kota di Afrika, konsekuensinya akan serius.
“Pusat kota hingga kini menjadi satu-satunya tempat perlindungan dari malaria di beberapa bagian Afrika,” ujarnya.
“Tapi di masa depan, jika Anopheles stephensi sudah mapan, itu tidak akan terjadi lagi,” bebernya.
(Susi Susanti)