“Kita punya pola pengetahuan yang baru, sains dari Barat kadang-kadang melihat fenomena begini seperti takhayul, tetapi ternyata kita tidak bisa mengatakan ini takhayul. Kalau dalam istilah antropologi, ini etno sains. Ini etno sains-ya orang Banyuwangi,” ujar Heddy.
Ada kerangka berpikir magis, ilmu pengetahuan, dan keagamaan yang harus dipahami. Pola pikir, lanjut Heddy, mempengaruhi perilaku tanpa disadari. Jika kita memahami pola pikir ini, ujarnya lagi, kita akan bisa memahami pandangan masyarakat itu dan pola perilakunya.
“Saya kira, ini hal yang sangat penting. Orang kemudian sadar bahwa santet itu maknanya bisa berbeda di satu daerah dengan daerah yang lain. Dan saya kira, itu menunjukkan bagaimana variasi budaya kita,” papar Heddy.
Soal santet di Banyuwangi ini, tambah Heddy, tidak bisa dilepaskan dari buku Bronislaw Malinowski, berjudul “Magic, Science and Religion." Begitu juga pemikiran dari Émile Durkheim dalam bahasan yang sama, terkait bagaimana posisi dunia magis, agama dan upaya manusia membangun ilmu pengetahuan.
Indonesia, kata Heddy, sangat kaya dengan tradisi semacam ini, khususnya penggunaan mantera dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, akan sangat menarik jika ada studi komparasi, terutama dari kawasan-kasawan yang memiliki potensi besar terkait keilmuan semacam ini, seperti Banyuwangi sendiri, suku Dayak di Kalimantan dan juga Banten.
“Saya pernah membimbing disertasi mengenai mantera di suku Bajo. Orang Bajo ini manteranya juga banyak sekali, dan itu untuk hidup sehari-hari, untuk mencari ikan, untuk mendapatkan rejeki. Saya kira, dalam kehidupan masyarakat kita di Indonesia, ini hal-hal yang sangat biasa, namun sekaligus menarik,” tambah Heddy.
(Sazili Mustofa)