BERDIRINYA Kerajaan Perlak, semakin banyak orang Arab yang datang untuk berdagang, baik dari kalangan Syiah maupun Sunni. Mereka tidak hanya berdagang, tetapi juga menyebarkan ajaran Islam yang mereka yakini. Kalangan Sunni memengaruhi elite lokal yang juga masih kerabat istana Perlak.
Sementara itu, kedua aliran ini (Syiah dan Sunni) terus menyebarkan pengaruhnya hingga sampai pada perebutan kekuasaan dan perlawanan terbuka yang terjadi pada masa sultan Perlak keempat, yakni Sultan Sayid Maulana Ali Mughayat Syah (915-918 M).
Baca juga: Raja dan Sultan Minta Dikembalikan Pelajaran Sejarah Kerajaan dan Kesultanan Nusantara
Perebutan akhirnya dimenangkan pihak Sunni sekaligus menandai keruntuhan Dinasti Sayid atau Aziziyah dan lahirnya Dinasti Makhdum. Pergolakan pada Kerajaan Perlak lebih dipengaruhi oleh adanya perbedaan aliran Islam antara Sunni dengan Syiah. Hal itu terungkap dari buku "Ensiklopedia Kerajaan Islam Di Indonesia, Binuko Amarseto".
Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya, pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya iktikad perdamaian dari keduanya.
Baca juga: Mengupas Ritual Minum Darah, Makan Daging Mayat dan Sebar Pageblug Puja Bhairawa
Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian, Perlak Pesisir (Syiah) yang dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986-988) dan Perlak Pedalaman (Sunni) yang dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023).
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari kedua pemimpin wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Syah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak di pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Sultan melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga untuk memperkuat kekuatan guna menghadapi serangan dari Kerajaan Sriwijaya. Sultan juga menikahkan dua putrinya dengan para pemimpin kerajaan tetangga, seperti Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Syah (Parameswara), dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudra Pasai, Malik Al-Saleh.
Kesultanan Perlak berakhir setelah sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak pun pada akhirnya menyatu dengan Kerajaan Samudra Pasai di bawah kekuasaan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Dhahir yang juga merupakan putra dari Malik Al-Saleh. Pada masa ini, berakhirlah Kerajaan Perlak. (din)
(Rani Hardjanti)