Konsekuensi dari pelimpahan kewenangan mengadili pada pengadilan niaga tentu pada hukum acara yang digunakan dalam proses pemeriksaan terhadap perkara keberatan atas putusan KPPU tersebut. Pada posisi ini perkara KPPU kemudian berubah wujud menjadi sengketa perdata yang memposisikan KPPU sebagai pihak dalam upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU tersebut.
Perubahan yang sangat drastis pula dalam tahapan pemeriksaan di Pengadilan Niaga adalah soal alat bukti yang digunakan, yaitu alat bukti sebagaimna diatur dalam hukum acara perdata yang meliputi; Bukti tulisan, Saksi, persangkaan, Pengakuan, dan Sumpah. Hal ini tentu sangat berbeda pada tahapan pemeriksaan pada KPPU.
Perbedaan yang sangat signifikan pada penggunaan alat bukti ini tentu pada tahapan pengungkapan kebenaran terkait adanya tindakan atau praktik persaingan usaha tidak sehat. Alat bukti yang digunakan pada tahapan pemeriksaan oleh KPPU adalah alat bukti yang digunakan untuk pengungkapan kebenaran materil, sementara alat bukti yang digunakan pada tahapan proses pemeriksaan di pengadilan niaga adalah untuk pengungkapan kebenaran formil.
Sehingga kondisi semacam ini menggambarkan bahwa adanya konstruksi hukum acara yang keliru dalam proses penyelesaian perkara persaingan usaha tidak sehat. Hal yang sangat tidak logis dan mengacaukan logika berfikir kita untuk mengkontruksikan hukum acara yang tepat seperti apa jika pada tahapan awal pemeriksaan di KPPU adalah bersifat pidana, kemudian sanksinya bersifat administratif, dan upaya hukum selanjutnya bersifat perdata. Hal ini tentu sangat membingungkan, sehingga berharap Mahkaham Agung mengoreksi prosedur hukum acara yang kurang tepat ini melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) agar dapat dipastikan adanya perwujudan kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian perkara persaingan usaha tidak sehat.
(Oleh: Ismail Rumadan, Peneliti Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI/Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional)
(Awaludin)