Begitu juga pulang mengajar. Jika ketinggalan perahu, terkadang dirinya pulang sekitar pukul 19.00 WIB atau pukul 18.00 WIB setelah adzan Maghrib.
Tidak hanya itu, keterbatasan masih mendera Imam Sunandar. Saat memutuskan menetapkan tinggal di Pulau Gili Timur, tepatnya di perumahan milik sekolah. Ada keterbatasan listrik. Aktivitas belajar mengajarnya sedikit terganjal.
Penduduk setempat hanya menggunakan mesin jetset untuk penarangan listrik. Itupun dimulai pukul 18.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB ada listrik dari masyarakat setempat. Beruntung sekolah juga sudah ada jetset.
“Kalau cari warung makan di Gili sangat susah. Jarang masyarakat jualan nasi. Kalau ada harus pagi-pagi sebelum subuh untuk nelayan yang hendak melaut. Biasanya masak sendiri di sekolah. Untungnya, penduduknya sangat ramah dan baik,” kelakarnya.
Tragisnya lagi, sinyal di Pulau Gili juga byar-pet. Bahkan, untuk mengirim data harus menepi ke pantai dengan membawa laptop. Akibatnya, sistem mengajarnya masih tradisional, siswa belum pakai adroid atau fasilitas IT lainnya.
Di SD Negeri 352 sendiri siswanya rata-rata 135 dari kelas I hingga kelas VI. Jumlah guru ada sembilan orangbeserta kepala sekolah dan penjaga. Mayoritas guru penduduk lokal.
“Saya harus tetap kuat dengan kondisi di Gili Timur. Semangat mengajar itulah yang terus memotivasi sayahingga betah menginap di sini,” ungkap Imam Sunandar.
Diakui, saat ini memang Pemkab Gresik meluncurkan program riuntisan penyebrangan Pamona–Gili. Program yang diperuntukkan bagi pengajar dan tenaga medis itu belum maksimal.
(Angkasa Yudhistira)