Kisah Perempuan Penyintas 1965 Diasingkan di Kamp Khusus Tapol

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Kamis 29 September 2022 07:07 WIB
Kisah perempuan penyintas 1965 saat diasingkan di kamp khusus tapol. (BBC)
Share :

'Naik kelas' dan jadi penghuni terakhir

Sebagai tapol golongan C — golongan anggota ormas seasas dengan PKI — Mudjiati yang sebelum Peristiwa 65 tergabung dalam organisasi Pemuda Rakyat semestinya bisa bebas pada 1967, sama seperti tapol golongan C yang lain.

Namun karena Peristiwa Blitar Selatan berkecamuk pada 1968, ia urung dibebaskan, seiring dengan semakin banyak penangkapan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengan PKI.

Padahal Mudjiati yang ketika Peristiwa 65 terjadi masih berusia 17, tak tahu menahu tentang G30S. Segelintir hal yang membuatnya tersangkut dengan PKI adalah ia pernah berpartisipasi dalam perayaan ulang tahun partai itu di Senayan pada bulan Maret di tahun yang sama.

Bahkan, Mudjiati menyebut dirinya "naik kelas" ketika ikut dipindahkan ke Kamp Plantungan dari Penjara Bukit Duri di Jakarta pada Juli 1971.

Namun ketika dikirim ke Plantungan, ia diklasifikasikan sebagai golongan B, yakni mereka yang telah disumpah atau menurut saksi telah menjadi anggota PKI atau pengurus organisasi yang seasas dengannya.

Di Plantungan, ia sempat bekerja di unit pertanian, juga di dapur umum.

Ketika kami berkunjung ke tempat yang dulu dikenal sebagai Kamp Plantungan — kini sebagian areanya menjadi lapas, sedangkan sebagian lain sebagai tempat wisata pemandian air panas — Mudjiati tak jemu memetik tanaman antanam dan tikim yang tumbuh di antara semak-semak.

Tanaman-tanaman itu biasa ia makan ketika ia "diasingkan" di Kamp Plantungan, bersama dengan hewan liar yang berseliweran di sekitar.

"Teman-teman itu namanya juga tapol, nggak pernah makan daging. Jadi kalau ada ular bukannya teriak takut, nanti panggil temannya yang tukang algojonya. Ular itu dipukul langsung di-betheti [dibersihkan].

"Walaupun tidak semuanya makan, tapi itu sudah hal yang biasa. Makan ular, makan uret [larva], kadal, kita juga butuh untuk protein hewani," aku Mudjiati.

Di Plantungan, Mudjiati bekerja di unit pertanian, dengan menanam ubi, singkong dan sayuran untuk tambahan asupan gizi bagi para tapol.

Nasi, sayur dan gereh (ikan asin) adalah makanan pokok bagi para tapol di Plantungan, kata Mudjiati.

"Di sini kami berupaya menghibur diri dengan melakukan kegiatan, di samping kerja wajib di unit-unit. Sesudahnya, kami membuat kerajinan tangan untuk usaha kita mencari uang," tuturnya.

Di samping itu, para tapol mendapat giliran tugas dapur setiap bulan, membersihkan blok yang mereka tempati secara bergiliran, serta mengambil jatah makanan di dapur umum dan membagikannya ke tapol lain.

"Kita mengingat berdasarkan nomor. Jadi kalau di sini kita nggak dipanggil 'Endang Lestari', tapi nomor.

"Nomor piro, mbak?," tanya Mudjiati kepada Endang Lestari.

"105," jawab Endang dengan kalem.

Sementara nomor 358 menjadi identitas Mudjiati selama di Kamp Plantungan.

Kendati hidup di alam bebas, Mudjiati mengaku bahwa dirinya tak merasakan kebebasan di Kamp Plantungan. Kawat berduri yang mengelilingi kamp itu menjadi pembatas antara dirinya dan dunia luar.

Belum lagi, gerak gerik mereka diawasi.

Mereka tidak boleh melakukan interaksi satu dengan yang lain. Mereka yang ketahuan, disebut melakukan gerpol, atau gerakan politik, sebuah stereotip yang menstigma bagi mereka.

Akhirnya, mereka berinteraksi menggunakan kode isyarat agar tidak ketahuan petugas atau tapol lain yang menjadi kepanjangan tangan petugas kamp.

"Yang mengawasi itu bukan petugas, kalau petugas kita tahu. Kita diadu-domba, jadi teman ngawasin teman."

Sejak 1976, secara bertahap para tapol yang ditahan di Plantungan dibebaskan secara bertahap.

Hingga Desember 1979, hanya tinggal 79 tapol yang menghuni komplek kamp yang luas itu, salah satunya Mudjiati dan Deborah Ponirah.

"Kami yang terakhir, istilahnya kami 'nutup pintu'," kata Mudjiati.

Mudjiati menuturkan bahwa berat badannya sempat turun drastis ketika menyadari banyak tapol lain — termasuk pemimpin organisasi yang terafiliasi dengan PKI — dibebaskan, sementara dirinya masih terkungkung di Kamp Plantungan.

"Kita yang bukan pimpinan belum bebas. Itu yang bikin, bahasa Jawanya, nggrantes [pilu]... Jadi badan saya habis."

Rasa pilu itu kian menjadi-jadi ketika ia mendengar kabar bahwa tapol yang "dibuang" ke Pulau Buru sudah mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

"Ini sini," kata Mudjiati sambil menunjuk dadanya, "Waduh! Kita biasanya panggil teman laki-laki tuh Mas Kakang, 'Mas kakang pulang, aku nggak pulang-pulang'."

Tapi sebuah penghiburan muncul ketika sebelum pembebasan, sang komandan kamp memberikan kejutan berupa pementasan musik dangdut.

"Jadi dikumpulkan, ditanggapkan dangdut. Kita kan belum kenal dangdut waktu itu, kita jadi dihibur."

Mudjiati dibebaskan pada Desember 1979.

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya