Di sisi lain ini mempengaruhi nasib keselamatan Pangeran Diponegoro. Sang pangeran mulai berada di titik nadir, pada 21 September 1829 Pangeran Ngabehi, panglima paling senior yang tersisa, bersama dua putranya, terbunuh dalam pertempuran sengit di Pegunungan Kelir yang ada di perbatasan Bagelen - Mataram.
Tak lama kemudian, pada 11 November 1829 Pangeran Diponegoro nyaris tertangkap oleh pasukan gerak cepat ke-11 yang dikomandoi oleh Mayor A. V. Michiels di Pegunungan Gowong. Diponegoro lalu memutuskan untuk masuk ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen dengan hanya ditemani dua punakawan atau pengiring terdekat, yakni Bantengwerang dan Roto.
Di tangan keduanya pulalah, semua kebutuhan sang pangeran dilayani serta turut sebagai penunjuk jalan dan penasehatnya. Konon pengembaraan ini membawa sang pangeran sampai ke Sampang di daerah Remo, di hulu Kali Cincingguling, kawasan yang jauh antara Bagelen dan Banyumas.
Konon Pangeran Diponegoro terus mengembara dalam persembunyiannya. Menembus hutan perawan lebat, bersembunyi di gua-gua, mencari bantuan dimana itu dimungkinkan di tengah hujan lebat dan angin kencang. Sang pangeran kerap mengalami kekurangan makanan, tidak punya tempat berteduh di waktu malam.
Nasib Pangeran Diponegoro kian miris ketika patih setianya Raden Adipati Abdullah Danurejo, membelot ke pihak Belanda. Ia pun terpaksa terus bersembunyi di lebatnya hutan, dengan harus menahan rasa sakit menderita luka di kakinya dan terkena sakit malaria yang membuat fisik sang pangeran melemah. Ia menanggung dengan tabah semua derita ini sampai 9 Februari 1830. Sang pangeran terus menanggungnya dengan tabah sampai akhirnya ketika negosiasi - negosiasi awal dengan Kolonel Jan Baptist Cleerens.
(Fakhrizal Fakhri )