Beberapa tahun kemudian, sekira awal 1952, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menhan Sri Sultan Hamengkubuwono IX menerima tawaran dari badan intelijen Amerika Serikat (AS), Central Intelligence Agency (CIA) untuk melatih para calon intel Indonesia. Pelatihan ini dilakukan di Pulau Saipan, Filipina.
Pada 5 Desember 1958, Presiden Soekarno membentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI) dan menunjuk Kolonel Laut Pirngadi sebagai kepalanya. Pembentukan badan ini ditujukan untuk mengatasi lembaga-lembaga Intelijen di Indonesia yang bergerak sendiri tanpa koordinasi bersama.
Pada 1959, BKI berubah nama menjadi Badan Pusat Intelijen (BPI) dan dikepalai Dr. Soebandrio. Di tengah kemelut tahun 1965, Soeharto memimpin Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Hal ini ditujukan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban Indonesia pasca terjadinya gonjang-ganjing 1965.
Kemudian pada Agustus 1966, Soeharto mendirikan Komando Intelijen Negara (KIN) yang dipimpin Brigjen Yoga Sugomo. Sebagai lembaga intelijen strategis, akhirnya BPI turut dileburkan ke KIN. Kurang dari setahun, Soeharto mengeluarkan Keppres dan mengganti KIN menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Mayjen Soedirgo didaulat menjadi kepalanya.
Sekitar tahun 1983, Wakil Kepala BAKIN, L.B Moerdani memperluas kegiatan intelijen menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS). Pada 1993, Soeharto mencopot L.B. Moerdani sebagai Menhankam. Setelahnya, dia juga mengurangi kegiatan BAIS dan menggantinya dengan nama Badan Intelijen ABRI (BIA). Terakhir, pada 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengubah BAKIN menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) yang bertahan sampai saat ini.