JAKARTA – Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, mengenang sosok almarhum Ridwan Saidi sebagai politikus dan aktivis. Ia mengenang sosok Ridwan Saidi yang disebutnya sebagai orang yang egaliter, tetapi sangat humoris.
Didik menceritakan, saat dirinya masih mahasiswa pada 1980-an dan belajar berorganisasi, Ridwan Saidi sudah malang melintang sebagai anggota DPR dari PPP.
“Saya kenal secara pribadi sebagai aktivis HMI dan berinteraksi terus menerus setidaknya 2-3 tahun pada 1983-85 sebelum saya melanjutkan kuliah S2 dan S3. Orangnya egaliter, gaya bicaranya berintonasi kuat, tetapi sangat humoris sambil mengejek apa dan siapa yang dikritiknya,” kata Didik.
Ia menyebutkan, di jagat politik nasional, suara anggota DPR Ridwan Saidi nyaring, tetapi tidak mampu mengubah peta politik Orde Baru yang sangat kuat pada waktu itu.
“Berbeda dengan kelompok Petisi 50, yang langsung ditumpas Orde Baru karena frontal head to head dengan Soeharto. Kritik Bang Ridwan lebih lunak dan lewat status formalnya sebagai anggota DPR sehingga tidak pernah sedikit pun ada indikasi untuk ditangkap,” tuturnya.
Didik menjelaskan, kekuatan opposisi tidak ada artinya di tengah kekuatan politik otoriter pada waktu itu. Tetapi, ia melanjutkan, kritik-kritik yang dilontarkan memberikan pelajaran bahwa dalam demokrasi harus ada suara lain yang berbeda dan mungkin bisa menjadi alternatif. “Simbol kritik yang menggema secara nasional itu ada pada figur Ridwan Saidi,” ucapnya.
Ia menilai, seumur hidupnya Ridwan Saidi berada di luar lingkar kekuasaan dan tidak menyesal memainkan peranan kritis terhadap kekuasaan tersebut.
“Ridwan Saidi adalah aktivis HMI lulusan Universitas Indonesia, yang ditempa sejarah aktivisme sangat panjang bersamaan dengan perubahan besar di negeri ini, mulai dari Orde Lama, Rovolusi Kudeta PKI dan Orde Baru, masa transisi sulit kejatuhan Orde Baru, sampai masa demokrasi bebas sekarang ini,” tuturnya.
Sementara itu, belakangan waktu terakhir, ia mengatakan, Ridwan Saidi bersuara di publik agar pemerintah tidak main tangkap terhadap lawan politiknya.
“Tindakan penangkapan sejumlah aktivis seperti Ahmad Dhani, Buni Yani dan Slamet Ma'arif dan lain-lain diyakini dengan perlakuan hukum diskriminatif,” ujarnya.
“Menurut saya figur seperti Ridwan Saidi diperlukan untuk menjaga demokrasi agar tidak tergelincir mengarah ke otoriter,” tuturnya.
Meskipun kerap kritis, Didik menambahkan, Ridwan Saidi juga bisa memuji pemerintah dalam hal ini Jokowi sebagai Gubernur DKI.
“Ridwan Saidi, salut terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang memiliki kepedulian untuk membangun Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pembangunan kampung Betawi sangat baik untuk melestarikan budaya Betawi yang mulai terancam eksistensinya. Di Singapura saja ada kampung Melayu, yang dipelihara,” tuturnya.
(Erha Aprili Ramadhoni)