JAKARTA - Suatu pagi tanggal 11 Desember 2017 Margarita Gracheva ditawari suaminya, Dmitri, tumpangan ke kantor. Di tengah jalan si suami berbelok ke hutan, lalu memarkir mobil dan menarik Margarita keluar mobil. Si suami lalu mengambil kampak dari bagasi dan memotong kedua tangan Margarita.
Setelah itu si suami meninggalkan Margarita di ruang gawat darurat Rumah Sakit di Serpukhov, selatan Moskow, lantas pergi ke kantor polisi untuk mengakui kejahatannya.
Pasangan ini bertemu ketika mereka bersekolah dan mulai pacaran saat selesai kuliah. Awalnya mereka bahagia, sekalipun Dmitri mudah marah karena hal-hal kecil.
Beberapa kali ia mengancam membunuh Margarita seandainya sang istri tak setia.
Hubungan mereka memburuk ketika Margarita mulai bekerja di bagian iklan di koran Serpukhov. Dmitri seorang sarjana tapi ia bekerja sebagai supir forklif. Ia iri terhadap pekerjaan istinya dan cemburu pada rekan kerja sang istri.
Di rumah, pelan-pelan ia jadi dingin dan menjaga jarak.
Berulang kali coba membunuh
Margarita mengusulkan mereka berpisah saja, tapi Dmitri mengabaikan usul itu. Sampai akhirnya Margarita membawa surat cerai, dan Dmitri meledak. Satu malam ia menyerang Margarita, menyebabkan memar-memar di badan sang istri.
Ketika Dmitri mengancam dengan pisau, Margarita memutuskan mengadu ke polisi. "Saya membuat pengaduan dan petugas bilang mereka akan memberi kabar dalam 20 hari," kata Margarita dilansir dari BBC, Selasa (27/12/2022).
"Saya marah dan bilang ke mereka: saat itu mungkin ia sudah 20 kali mencoba membunuh saya".
Petugas bilang perempuan sering membuat aduan dan kemudian menariknya lagi, sehingga kepolisian kewalahan.
Lima hari sesudah kasus aduan itu dicabut karena kurang bukti, Dmitri memenggal tangan Margarita.
Potongan tangan berhasil diambil dari hutan dan dijahitkan kembali ke Margarita dalam operasi yang berlangsung sembilan jam. Sebuah penggalangan dana daring berhasil mengumpulkan enam juta rubel (sekitar Rp1,3 miliar) untuk tangan palsu yang dibuat di Jerman.
Margarita menerbitkan buku tentang pemulihannya, berjudul Happy Without Hands, Bahagia tanpa Tangan, tapi ia kini sangat menghindari publikasi.
"Ironisnya, agar dia bisa dapat hukuman berat, saya butuh bantuan media," kata Margarita.
Pengacaranya mengatakan, jika Margarita tidak tampil di TV, suaminya mungkin dihukum ringan tiga sampai lima tahun. Tekanan publik penting untuk kasus ini. Margarita akhirnya ikut nasehat pengacaranya, dan Dmitri akhirnya dijatuhi hukuman 14 tahun penjara.
Kisah Margarita ini bagai puncak gunung es dari KDRT di Rusia. Perkiraan konservatif menyebut ratusan perempuan meninggal setiap tahun akibat KDRT di Rusia.
Para pegiat beranggapan persoalan KDRT memasuki fase krisis di Rusia, dan dua peristiwa penting belakangan ini menimbulkan gelombang protes di banyak kota di sana.
Pertama adalah UU tahun 2017 yang menurunkan derajat KDRT dari 'perbuatan kriminal' ke 'perilaku buruk' bagi pelaku KDRT pertama kali, sepanjang korbannya tidak memerlukan perawatan rumah sakit.
Kedua adalah potensi hukuman penjara jangka panjang terhadap tiga bersaudari yang membunuh ayah mereka bulan Juli 2018 disebabkan sang ayah telah melakukan KDRT terhadap mereka.
Sang ayah, Mikhail Khachaturyan mengusir istirnya dengan todongan senjata tahun 2015, lalu ia melakukan kekerasan terhadap ketiga anak perempuannya.
Sang ibu Aurelia Dunduk, bercerita: "Ia menyiksa mereka setiap malam, mereka tak bisa tidur".
"Ia punya bel dan mereka harus datang saat dipanggil dengan bel itu, untuk melakukan apa saja yang ia suka. Anak-anak ini sangat menderita."
Maka suatu malam saat Khachaturyan tidur di kursi di rumahnya, putri tertuanya, Krestina, 19 tahun, menyemprot sang ayah dengan semprotan merica. Lalu adiknya Maria, 17 tahun, menikam dengan pisau berburu, dan adiknya yang satu lagi, Angelina menghantam kepala sang ayah dengan martil.
"Mereka membela diri, mereka tak punya pilihan," kata si ibu.
Desakan publik membuat mereka dibebaskan dari tahanan sementara menunggu sidang pengadilan. Petisi dibuat untuk meminta pembebasan mereka, dan sudah mencapai 300.000 tanda tangan.
Sangat sedikit politisi yang berupaya melawan KDRT, salah satunya adalah Oksana Pushkina. Ia anggota partai Vladimir Putin, United Russia, tapi kemudian menjadi pemberontak karena tak tahan terhadap KDRT.
Sekarang ia berkampanye agar UU tahun 2017 dicabut, dan Rusia punya UU khusus untuk menangani KDRT.
(Nanda Aria)