Menyelami Motif Iwan Sumarno Culik MA, Bocah Perempuan Berusia 6 Tahun

Widi Agustian, Jurnalis
Jum'at 06 Januari 2023 11:15 WIB
Foto: Penulis
Share :

MA (6 tahun) menjadi korban penculikan selama 26 hari. Bocah perempuan ini diculik pada Rabu 7 Desember 2022. Saat itu, Iwan Sumarno (42) yang merupakan pelaku membawa kabur MA menggunakan bajaj dari Jalan Gunung Sahari 7A, Sawah Besar, Jakarta Pusat.

MA baru ditemukan oleh polisi pada Senin 2 Januari 2023 malam. Saat itu, posisi MA dan pelaku tengah memulung di kawasan Ciledug, Tangerang.

Polisi belum mengetahui secara gamblang motif penculikan ini. Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Pol Komarudin, pelaku memberikan keterangan berbelit-belit saat diperiksa oleh pihak kepolisian.

BACA JUGA: Penculik Malika Terancam 15 Tahun Penjara

Pelaku, kata dia, hanya mengakui bahwa ia ingin menjaga dan sayang dengan MA.

"Ini yang masih kami dalami, tadi kami sampaikan bahwa keterangan pelaku masih berbelit-belit mengaku bahwa dia hanya ingin menjaga M, dia sayang dengan M, sehingga ingin mengajak untuk bisa menemaninya dalam keseharian yang bersangkutan," ujar Komarudin, Selasa 3 Januari 2023.

Motif adalah hal yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan atau alasan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Dikutip dari repositori USU, motif dalam kaitannya dengan kejahatan berarti dorongan yang terdapat dalam sikap batin pelaku untuk melakukan kejahatan.

Di mana dalam sudut pandang kriminologi, pelaku kejahatan dalam melakukan perbuatan jahatnya selalu disertai dengan motif, selalu ada alasan mengapa pelaku melakukan kejahatan.

Terkait motif kejahatan, dalam kajian Psikologi Forensik, dikenal beberapa pendekatan teoritis yang digunakan untuk menjelaskan perilaku kejahatan.

Dosen Psikologi Forensik Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Margaretha, dilansir dari laman Fakultas Psikologi Unair, menuturkan bahwa pendekatan teoritis tersebut antara lain: Kriminologi awal (Cesare Lombroso), Psikoanalisa (Sigmund Freud), dan Teori Bioekologi-Sosial.

Kriminologi awal

Seorang kriminolog Italia bernama Cesare Lombroso, pada tahun 1876 menjelaskan teori ‘determinisme antropologi’ yang menyatakan kriminalitas adalah ciri yang diwariskan atau dengan kata lain seseorang dapat dilahirkan sebagai “kriminal”.

Ciri kriminal dapat diidentifikasi dengan ciri fisik seseorang, contohnya: rahang besar, dagu condong maju, dahi sempit, tulang pipi tinggi, hidung pipih atau lebar terbalik, dagu besar, sangat menonjol dalam penampilan, hidung bengkok atau bibir tebal, mata licik, jenggot minim atau kebotakan dan ketidakpekaan terhadap nyeri, serta memiliki lengan panjang.

Teori ini menyebut kebanyakan kejahatan dilakukan oleh laki-laki. Perempuan yang melakukan kejahatan artinya terjadi degenarasi atau kemunduran. Ia berpandangan harusnya sikap pasif, kurangnya inisiatif dan intelektualitas perempuan membuatnya sulit melakukan kejahatan.

 

Psikoanalisa

Dalam perspektif Psikoanalisa, Sigmund Freud memiliki pandangan sendiri tentang apa yang menjadikan seorang kriminal. Ketidakseimbangan hubungan antara Id, Ego dan Superego membuat manusia lemah dan akibatnya lebih mungkin melakukan perilaku menyimpang atau kejahatan.

Menurutnya, penyimpangan dihasilkan dari rasa bersalah yang berlebihan sebagai akibat dari superego berlebihan. Di mana orang dengan superego yang berlebihan akan dapat merasa bersalah tanpa alasan dan ingin dihukum; cara yang dilakukannya untuk menghadapi rasa bersalah justru dengan melakukan kejahatan.

Dan pelaku melakukan kejahatan untuk meredakan superego karena mereka secara tidak sadar sebenarnya menginginkan hukuman untuk menghilangkan rasa bersalah.

Selain itu, Freud juga menjelaskan kejahatan dari prinsip “kesenangan”. Manusia memiliki dasar biologis yang sifatnya mendesak dan bekerja untuk meraih kepuasan (prinsip kesenangan).

Di dalamnya termasuk keinginan untuk makanan, seks, dan kelangsungan hidup yang dikelola oleh Id. Freud percaya bahwa jika ini tidak bisa diperoleh secara legal atau sesuai dengan aturan sosial, maka orang secara naluriah akan mencoba untuk melakukannya secara ilegal.

Pemahaman moral tentang benar dan salah yang telah ditanamkan sejak masa kanak harusnya bisa bekerja sebagai superego yang mengimbangi dan mengontrol Id. Namun jika pemahaman moral kurang dan superego tidak berkembang dengan sempurna, akibatnya anak dapat tumbuh menjadi menjadi individu yang kurang mampu mengontrol dorongan Id, serta mau melakukan apa saja untuk meraih apa yang dibutuhkannya.

Menurut pandangan ini, kejahatan bukanlah hasil dari kepribadian kriminal, tapi dari kelemahan ego. Ego yang tidak mampu menjembatani kebutuhan superego dan id akan lemah dan membuat manusia rentan melakukan penyimpangan.

Dari perspektif Belajar Sosial, Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil proses belajar psikologis, yang mekanismenya diperoleh melalui pemaparan pada perilaku kejahatan yang dilakukan oleh orang di sekitarnya, lalu terjadi pengulangan paparan yang disertai dengan penguatan atau reward; sehingga semakin mendukung orang untuk mau meniru perilaku kejahatan yang mereka lihat.

Misalnya, jika anak mengamati orang tuanya mencuri dan memahami bahwa mencuri uang menimbulkan reward positif (punya uang banyak untuk bersenang-senang); maka anak akan mau meniru perilaku mencuri. Di sisi lain, perilaku yang tidak diikuti dengan reward atau menghasilkan reaksi negatif maka anak belajar untuk tidak melakukan; atau dengan kata lain meniru untuk tidak mengulangi agar menghindari efek negatif.

Dalam perspektif ini, Bandura percaya bahwa manusia memiliki kapasitas berpikir aktif yang mampu memutuskan apakah akan meniru atau tidak mengadopsi perilaku yang mereka amati dari lingkungan sosial mereka.

Teori Sosial

Teori Sosial menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil kerusakan sistem dan struktur sosial. Seorang penjahat dari keluarga yang bercerai, mengalami masa kecil yang sulit, hidup di lingkungan sosial yang miskin dan banyak terjadi pelanggaran hukum, tidak memiliki pendidikan yang baik, memiliki gangguan fisik dan mental dan berbagai kesulitan psikososial lainnya.

Dalam perspektif ini, kesannya individu dilihat sebagai pasif bentukan sistem di sekelilingnya. Namun sebenarnya pada pendekatan Bioekologis oleh Urie Brofenbenner, terdapat interaksi faktor personal (si individu itu sendiri, termasuk di dalamnya aspek kepribadian, trauma, aspek biologis) dengan faktor sistem sosial di sekelilingnya.

Artinya perilaku kejahatan akan muncul sebagai interaksi antara faktor personal dan faktor lingkungan yang harus dapat diidentifikasi. Misalnya seseorang yang memiliki gangguan kepribadian, pernah mengalami pola pengasuhan traumatis dan saat ini hidup di lingkungan yang tidak peduli hukum dapat membuatnya lebih mudah melakukan kejahatan.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya