Kedua, diperlukan upaya mendialogkan antara realitas peradaban saat ini dengan teks-teks syariat secara manhaji (metodologis). Terutama dalam hal-hal yang tidak terdapat bandingan atau persamaannya di dalam aqwāl (pandangan) fukaha.
“Dengan memikirkan segala kemaslahatan dan beban risiko kehancuran bagi umat manusia, sebagai inisiatif yang dapat menghadirkan stabilitas dan keamanan umat manusia. Ini butuh upaya kolaboratif pelbagai disiplin ilmu untuk membaca realitas ini dengan komprehensif,” ujar pengurus PBNU ini.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menambahkan, gagasan fikih peradaban patut direspons positif oleh kalangan sarjana Islam. Khususnya, di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam di Indonesia.
Menurut dia, upaya kolaboratif kalangan ulama di pesantren dan sarjana di perguruan tinggi harus dirintis untuk menyemai pikiran konstruktif untuk kemaslahatan umat.
“Kolaborasi kalangan pesantren dan perguruan tinggi harus lebih ditingkatkan. Momen fikih peradaban ini menjadi milestone penting untuk menghadirkan kolaborasi positif antara ulama dan kalangan sarjana Islam,” ujarnya.