JAKARTA - Jenderal (HOR) (Purn) Sarwo Edhie Wibowo dalam perjalanan kariernya sempat menjadi legislator dan anggota partai politik, namun memilih mundur dan menyepi.
Mengutip buku seri Tempo berjudul "Sarwo Edhie dan Misteri 1965", Presiden Soeharto mengintruksikan Sudharmono yang ketika itu menjabat Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) untuk menjadikan Sarwo kader Golkar sekaligus anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
BACA JUGA:
Motivasi awal Sarwo ketika memasuki dunia politik adalah ingin mengubah wajah Dewan agar lebih baik, lebih banyak berbuat untuk rakyat, dan bukan cuma menjadi stempel kebijakan pemerintah.
Namun, dalam perjalanan menjadi anggota dewan dan partai politik tidaklah mulus. Sarwo banyak berseteru dan dijegal oleh elite-elite politik saat itu.
BACA JUGA:
Pada tahun 1988, Sarwo memilih mundur sebagai legislator karena menurutnya ia tidak bisa maksimal dalam menjalankan tugas sebagai anggota Dewan. Sarwo menganggap dirinya tidak bisa berbuat apa-apa di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan merasa tidak nyaman.
Pengakuan tak bisa berbuat banyak di Dewan juga diutarakan Sarwo kepada Tempo setelah menyerahkan surat pengunduran diri dari Golongan Karya.
"Lebih baik saya digantikan yang lebih muda saja," kata Sarwo
Mantan Duta Besar RI untuk Ceko sekaligus sahabat Sarwo, Prof. Salim Haji Said, berpendapat bahwa Sarwo sejatinya kurang kompeten di bidang politik.
Salim Said menganggap Sarwo tidak cocok berkarier sebagai politikus yang menuntut kepiawaian diplomasi demi kepentingan sekelompok orang. Apalagi praktek politik lebih dikenal sebagai ajang tipu muslihat.
Dia terlalu jujur, terlalu serius, enggak bisa belak-belok," ujar Salim.
(Nanda Aria)