Pertempuran terjadi antara unit tentara yang setia kepada pemimpin de facto, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan RSF, pasukan paramiliter terkenal yang dipimpin oleh wakil pemimpin Sudan, Mohamed Hamdan Dagalo, yang lebih dikenal sebagai Hemedti.
Poin utama yang mencuat adalah tentang rencana untuk memasukkan RSF berkekuatan 100.000 ke dalam tentara, dan siapa yang kemudian akan memimpin pasukan baru.
Jeda singkat dalam pertempuran pada Minggu (16/4/2023) menyusul keluhan dari serikat dokter bahwa sulit bagi petugas medis dan orang sakit untuk pergi ke dan dari rumah sakit saat pertempuran berkecamuk.
Menanggapi hal ini, paduan suara internasional juga telah menyerukan diakhirinya kekerasan secara permanen.
Negara-negara Arab terkemuka dan Amerika Serikat (AS) juga mendesak dimulainya kembali pembicaraan yang bertujuan untuk memulihkan pemerintahan sipil, sementara Uni Afrika telah mengumumkan bahwa mereka mengirim diplomat tertingginya, Moussa Faki Mahamat, untuk mencoba merundingkan gencatan senjata.
Menurut pernyataan kepresidenan Mesir, Mesir dan Sudan Selatan juga menawarkan untuk menengahi antara faksi yang bertikai.