Wanita Penghibur Terakhir Taiwan saat Perang Dunia II Meninggal pada Usia 92 Tahun

Susi Susanti, Jurnalis
Rabu 24 Mei 2023 11:22 WIB
Wanita penghibur Taiwan terakhir meninggal dunia (Foto: Taipei Women's Rescue Foundation)
Share :

TAIWAN - "Wanita penghibur" Taiwan terakhir yang diketahui dari Perang Dunia Kedua telah meninggal pada usia 92 tahun. Hal ini dikonfirmasi sebuah kelompok perdagangan anti-seks Taipei.

Istilah "Wanita penghibur" mengacu pada mereka yang dipaksa bekerja di rumah bordil perang tentara Jepang antara tahun 1932 dan 1945.

Para aktivis kelompok itu mengatakan wanita yang tidak ingin disebutkan namanya itu meninggal pada 10 Mei lalu.

Yayasan Penyelamatan Wanita Taipei mengatakan keluarganya mengizinkan berita kematiannya diketahui setelah pemakaman pribadi.

Aktivis kelompok memperkirakan 200.000 orang dari wilayah pendudukan dipaksa menjadi budak seksual, termasuk sekitar 2.000 wanita di Taiwan.

Wanita yang dipaksa menjadi budak seksual Kekaisaran Jepang WW2 berasal dari wilayah pendudukannya di Korea, China, Taiwan dan Filipina di antara daerah lain.

Yayasan Penyelamatan Wanita Taipei mengatakan menemukan 59 wanita di antara mereka secara lokal setelah membuat hotline pada 1992.

"Kami akan terus mencatat para wanita penghibur dan berharap kebenaran tentang kekerasan seksual tidak hilang dengan kematian mereka," kata yayasan itu dalam sebuah pernyataan, dikutip BBC.

"Kami akan terus menuntut pemerintah Jepang untuk meminta maaf dan memberi kompensasi kepada para wanita ini dan keluarga mereka," tambahnya.

Seperti diketahui, Taiwan dijajah oleh Jepang dari 1895 hingga 1945. Meskipun ada banyak tugu peringatan yang didedikasikan untuk kontribusi Jepang ke pulau itu selama masa kolonial. Kemudian pada 2018 tugu peringatan pertama untuk "wanita penghibur" didirikan di kota selatan Tainan.

Protes pun terjadi ketika seorang aktivis sayap kanan Jepang difilmkan menendang patung tersebut. Ini terjadi dua tahun setelah Taiwan membuka museum yang didedikasikan untuk "wanita penghibur" di ibu kota Taipei.

Keluhan sejarah telah lama menjadi titik sakit dalam hubungan Jepang dengan tetangganya.

Ribuan "wanita penghibur" ditarik dari Korea, dan masalah ini telah lama memicu perselisihan politik antara Tokyo dan Seoul.

Pada 2015, kedua pemerintah mencapai kesepakatan di mana Fumio Kishida, menteri luar negeri Jepang saat itu, meminta maaf atas "penghinaan besar terhadap kehormatan dan martabat sejumlah besar perempuan".

Namun beberapa minggu kemudian mantan Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe tampaknya menarik kembali permintaan maaf tersebut.

"Tidak ada dokumen yang ditemukan bahwa wanita penghibur dibawa pergi secara paksa,” terangnya kepada parlemen Jepang pada saat itu.

Korea Selatan juga menerima tawaran kompensasi dari Jepang sebesar 1 miliar yen. Namun itu dikritik oleh para korban karena dianggap tidak cukup.

Profesor Mary McCarthy dari Universitas Drake, yang berspesialisasi dalam kebijakan dalam dan luar negeri Jepang, mengatakan Jepang telah meminimalkan topik wanita penghibur dalam narasinya pasca-Perang Dunia II.

Saat ini tidak ada konsensus di Jepang tentang fakta para wanita penghibur: siapa mereka, bagaimana mereka direkrut, apa peran militer dan pemerintah Jepang, dan apa yang harus dilakukan hari ini.

"Mereka dirusak oleh penghapusan masalah ini dari buku pelajaran sekolah Jepang, politisi Jepang menyangkal masalah ini, dan desakan aktif dari pemerintah dan politisi individu agar tugu peringatan para wanita penghibur di seluruh dunia dihapus,” terangnya.

Prof McCarthy mengatakan kepada BBC bahwa masalah tersebut telah mempolarisasi wacana publik sejak 1980-an, menjadi "simbol politik" dari preferensi ideologis dan pandangan dunia.

(Susi Susanti)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya