Namun beberapa minggu kemudian mantan Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe tampaknya menarik kembali permintaan maaf tersebut.
"Tidak ada dokumen yang ditemukan bahwa wanita penghibur dibawa pergi secara paksa,” terangnya kepada parlemen Jepang pada saat itu.
Korea Selatan juga menerima tawaran kompensasi dari Jepang sebesar 1 miliar yen. Namun itu dikritik oleh para korban karena dianggap tidak cukup.
Profesor Mary McCarthy dari Universitas Drake, yang berspesialisasi dalam kebijakan dalam dan luar negeri Jepang, mengatakan Jepang telah meminimalkan topik wanita penghibur dalam narasinya pasca-Perang Dunia II.
Saat ini tidak ada konsensus di Jepang tentang fakta para wanita penghibur: siapa mereka, bagaimana mereka direkrut, apa peran militer dan pemerintah Jepang, dan apa yang harus dilakukan hari ini.
"Mereka dirusak oleh penghapusan masalah ini dari buku pelajaran sekolah Jepang, politisi Jepang menyangkal masalah ini, dan desakan aktif dari pemerintah dan politisi individu agar tugu peringatan para wanita penghibur di seluruh dunia dihapus,” terangnya.
Prof McCarthy mengatakan kepada BBC bahwa masalah tersebut telah mempolarisasi wacana publik sejak 1980-an, menjadi "simbol politik" dari preferensi ideologis dan pandangan dunia.
(Susi Susanti)