JAKARTA – Sosok Ali Sadikin yang akrab disapa Bang Ali sebagai Gubernur DKI Jakarta begitu kuat. Dia dikenal sebagai sosok yang keputusan-keputusannya kerap dinilai kontroversial saat membenahi Kota Jakarta.
Dia juga merupakan salah satu anggota dari kelompok Petisi 50. Kala itu, Kelompok Petisi 50 yberanggotakan 50 tokoh nasional, seperti Hoegeng Imam Santoso, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, S.K. Trimurti, M. Jasin, A.H. Nasution, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sadikin, dan deretan sosok besar lainnya.
Mereka menjadikan rumah Ali Sadikin sebagai tempat berkumpul dan berdiskusi untuk membahas setiap persoalan dalam negeri.
Hal tersebutlah yang membuat pemerintah yang mengetahuinya, memutuskan untuk memantau kegiatan yang diadakan di rumah Bang Ali tersebut. Namun, ternyata tidak hanya saat sedang ada kegiatan kelompok Petisi 50 saja, para intel tersebut memantau kediaman Ali Sadikin setiap harinya.
Pernah suatu saat, salah satu pegawai LAN yang bernama Soeharto, mempunyai pengalaman yang kurang baik. Karena anaknya berteman dan satu kuliah dengan putra Bang Ali.
Sebagai teman, putra pegawai LAN itu tentu sering berkunjung ke rumah Bang Ali, tentunya untuk bertemu dengan putra Bang Ali. Saat berkunjung, putra pegawai LAN itu selalu membawa mobil ayahnya. Tanpa disadari, ternyata plat nomor mobilnya itu selalu dicatat oleh sejumlah intel yang tiap hari mengawasi rumah Bang Ali di jalan Borobudur.
Karena Soeharto merupakan pegawai LAN, maka nomor plat mobilnya pun mudah ditelusuri oleh polisi. Soeharto pun dipanggil atasannya. Sang atasan menanyakan mengapa mobilnya sering berada di rumah Bang Ali. Dalam seminggu, mobil bisa beberapa kali bolak-balik di rumah Bang Ali. Mendengar hal tersebut, tentu saja, Soeharto terkejut bukan main.
Setelah menanyakan anaknya di rumah, ternyata anaknya membenarkan bahwa mobilnya memang sering dipakai untuk berkunjung ke rumah Bang Ali. Karena mobil hanya dipinjam untuk kunjungan anaknya ke rumah anak Bang Ali, Soeharto pun tidak mendapat sanksi. Namun, sang atasan menasihati Soeharto agar anaknya jangan berkunjung lagi ke rumah Bang Ali.
Pengalaman Soeharto dan anaknya jugalah yang semakin membuat Dharto benar-benar tak berani menemui Hoegeng dan keluarganya di rumah. Apalagi, istrinya juga khawatir jika Dharto tetap berkunjung ke rumah Hoegeng. Dharto khawatir konduitenya juga jelek gara-gara hal itu. Sejak itu, Dharto memutuskan untuk tak datang ke Hoegeng, apalagi menghubunginya lewat telepon.
Dikarenakan pada saat itu sistem politik di pemerintahan Orde Baru dikenal represif. Dharto yang sudah pensiun, tetapi masih diminta untuk membantu selama tiga bulan, hingga ada pejabat baru yang mengisi posisinya saat itu, tetap tidak berani mengunjungi Hoegeng. Dharto khawatir akan mendapat penilaian yang buruk jika masih berhubungan dengan Hoegeng ataupun anggota kelompok Petisi 50 yang lainnya.
Meskipun kunjungannya ke Hoegeng hanya bersifat silaturahmi atau kekeluargaan, tentu tak bisa ditoleransi jika ada pejabat pemerintah yang melanggar aturan, termasuk berkomunikasi dengan mereka yang dianggap pembangkang oleh pemerintah.
Meskipun demikian, aparat tak berani untuk membubarkan pertemuan-pertemuan yang diadakan kelompok tersebut, kecuali mengawasi dan memata-matainya. Mereka juga tak berani mengganggu kediaman Ali Sadikin.
(Susi Susanti)