Bahkan kemudian, gerakan Sumarsono itu diambil alih oleh Musso dan berganti nama menjadi Pemerintah Front Nasional sesuai ide Musso untuk menyatukan kekuatan-kekuataan rakyat. Dalam pemerintahan itu, Hatta mengecap Musso akan menjadi Presiden dan Mr. Amir Syarifuddin sebagai perdana menterinya. Serupa dengan pemberontakan rakyat 1926-1927, pemberontakan di Madiun dengan mudah ditumpas.
Hanya dalam tempo 12 hari, pemerintahan rakyat di bawah Pemerintahan Front Nasional berhasil direbut kembali ke pangkuan republik. Dampak dari perbuatan ini tidak kalah merugikan, sekira 8.000 kaum komunis terbunuh, dan 36.000 orang dipenjara. Dalam situasi perang itu, Musso berpisah seorang diri dengan rekan-rekannya. Minggu 31 Oktober 1948, dia bertemu dengan anggota laskar prorepublik, di Desa Balong. Saat itu, Musso membawa gendolan sarung berisi jas hujan. Saat dilakukan penggeledahan, dia mengeluarkan pistol dan menembak laskar itu. Lalu melarikan diri dengan merampas sepeda milik warga.
Di tengah jalan, dia bertemu dengan dokar dan ikut menumpang. Di bawah todongan pistol, sopir dokar yang ketakutan dipaksa jalan. Di tengah jalan, dokar yang dibajak Musso bertemu dengan mobil yang berisi tentara dari Batalion Sunandar. Musso menghentikan dokar, dan menghadang mobil itu. Secepat kilat, Musso menodongkan pistol ke arah mereka. Nahas bagi Musso, rampasan mobil itu tidak mau hidup saat si starter. Lalu, dia melanjutkan pengembaraannya ke desa terdekat. Di sana, dia ketahuan sembunyi di kamar mandi. Karena tetap tidak mau menyerah, dia ditembak mati. Mayatnya kemudian dibawa ke Ponorogo, dan dipertontonkan kepada warga. Lalu, massa yang emosi membakar mayatnya.
(Awaludin)