Dirinya langsung memerintahkan ABRI untuk membebaskan Presiden, memulihkan keamanan Jakarta, dan yang paling penting, menunjuk Soeharto sebagai kepala operasi.
Namun, pesan datang dari Soekarno di Halim bahwa telah memutuskan untuk menunjuk loyalisnya, Mayjen Pranoto Reksosamodra untuk mengisi posisi Panglima Angkatan Darat dan diminta menemuinya. Soeharto tidak mengizinkan Pranoto pergi, tapi ia tahu bahwa Soekarno tidak akan menyerah untuk mencoba memanggil Pranoto.
Untuk memperkuat posisi tawar, Soeharto meminta Nasution untuk datang ke Markas Kostrad. Nasution tiba di markas Kostrad sekitar pukul enam sore, Soeharto mulai mengerahkan pasukan Sarwo Edhie Wibowo untuk mengamankan Jakarta dari Gerakan 30 September.
Di sana, Nasution akhirnya menerima pertolongan pertama untuk pergelangan kakinya yang patah. Setelah Jakarta aman, Martadinata datang ke markas Kostrad dengan salinan Keputusan Presiden yang menunjuk Pranoto. Setelah melihat keputusan tersebut, Soeharto mengundang Martadinata dan Nasution ke ruangan untuk membahas situasi.
Nasution meminta Martadinata bagaimana caranya presiden datang untuk menunjuk Pranoto. Martadinata menjawab bahwa pada sore hari ia, Joedodihardjo, dan Dhani telah menghadiri pertemuan dengan Soekarno di Halim untuk memutuskan siapa yang harus menjadi Panglima Angkatan Darat setelah Yani tewas.
Pertemuan telah memutuskan bahwa Pranoto harus menjadi Panglima Angkatan Darat. Nasution mengatakan, penunjukan Soekarno tidak dapat diterima karena penunjukan datang ketika Soeharto telah memulai operasi.
Kemudian, Nasution dan Soeharto mengundang Pranoto dan meyakinkannya untuk menunda menerima pengangkatannya sebagai Panglima Angkatan Darat sampai setelah Soeharto selesai menumpas percobaan kudeta.
Dengan pasukan Sarwo Edhie, Jakarta dengan cepat berhasil diamankan. Soeharto kemudian mengalihkan perhatiannya ke Halim dan mulai membuat persiapan untuk menyerang pangkalan udara. Nasution memerintahkan angkatan laut dan polisi untuk membantu Soeharto dalam menumpas Gerakan 30 September.