Untuk Angkatan Udara, Nasution mengeluarkan perintah mengatakan bahwa mereka tidak akan dihukum atas pembangkangan jika mereka menolak untuk mematuhi perintah Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani. Pada pukul 06.00 WIB tanggal 2 Oktober, Halim berhasil diambil alih dan Gerakan 30 September secara resmi dikalahkan.
Pada 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, Nasution dianugerahi pangkat Jenderal Besar bintang lima. Nasution tutup usia di RS Gatot Soebroto pada 6 September 2000, dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Profil Nasution dan Jejak Militernya
Nasution lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918. Sepak terjang Nasution di dunia militer dimulai pada 1940, saat Jerman Nazi berhasil menduduki Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia.
Kemudian Nasution bergabung, karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Seiring dengan beberapa orang Indonesia lainnya, ia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan.
Pada September 1940 ia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan. AH Nasution, kemudian menjadi seorang perwira di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).
Pada 1942, Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia. Pada saat itu, Nasution di Surabaya. Penempatannya di sana untuk mempertahankan pelabuhan. Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi, karena ia takut ditangkap oleh Jepang. Namun, ia membantu milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan membawa pesan, tetapi tidak benar-benar menjadi anggota.
Setelah Presiden Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada Mei 1946, ia diangkat Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia di masa depan.