YERUSALEM – Mengecoh Israel dan menemukan kerentanan utama dalam infrastruktur pengawasan di perbatasan Gaza menjadi bagian penting dari rencana yang memungkinkan Hamas melancarkan serangan, yang menjadi kekerasan terburuk di Negara Zionis itu dalam lima dekade, demikian dilaporkan New York Times.
Berbicara dengan pejabat senior keamanan Israel The New York Times pada Selasa, (10/10/2023) melaporkan mengenai kesimpulan awal dari lembaga keamanan terkait serangan Hamas yang terjadi pada Sabtu, (7/10/2023) tersebut.
Dalam serangan tersebut, militan Palestina menyerbu lebih dari 20 kota dan pangkalan militer, menyebabkan ratusan kematian di antara anggota militer dan warga sipil serta menyandera puluhan orang.
Dilansir RT, sebelum serangan tersebut, Israel menganggap mereka telah berhasil mengendalikan ancaman Hamas sejak bentrokan pada Mei 2021. Panggilan telepon yang disadap para militan tampaknya telah mengkonfirmasi penilaian bahwa Hamas tidak lagi menjadi ancaman yang signifikan.
Saat ini sedang dilakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan apakah percakapan tersebut mungkin telah dimanipulasi atau direkayasa.
Israel sebelumnya sangat mengandalkan tembok canggih yang dibangun di sepanjang perbatasan Gaza. Tembok ini dilengkapi dengan berbagai jenis sensor dan senjata mesin yang bisa dioperasikan dari jarak jauh.
Pemerintah Israel percaya bahwa tembok ini hampir tidak dapat ditembus, sehingga mereka menempatkan pasukan militer yang relatif kecil di dekatnya. Hal ini membuat mereka memprioritaskan wilayah lain untuk penempatan pasukan, seperti yang disebutkan dalam laporan tersebut.
Saat serangan Hamas dimulai, mereka berhasil menghancurkan setidaknya empat menara komunikasi dengan menggunakan amunisi yang dijatuhkan dari pesawat nirawak atau drone pada tahap awal serangan. Akibatnya, sistem pengawasan di tembok tersebut menjadi "tidak berguna," menurut laporan The New York Times.
Israel tidak bisa melihat apa yang terjadi di sekitar tembok tersebut, yang ternyata tidak sekuat yang mereka kira. Hamas menggunakan bahan peledak dan bulldozer untuk menciptakan hampir 30 celah di tembok tersebut, memungkinkan sekira 1.500 pejuang Hamas untuk melewati pertahanan Israel.
Kegagalan operasional yang dialami Israel mengakibatkan para komandan senior mereka berkumpul di satu pangkalan di wilayah tersebut. Pangkalan ini kemudian diserbu oleh para militan dalam serangan kilat.
Dengan sebagian besar pemimpin Israel terbunuh atau ditawan, respons Israel terhadap situasi darurat menjadi tidak terorganisir dan lambat, sesuai dengan apa yang diberitakan oleh sumber-sumber.
Pejabat-pejabat tinggi di tingkat komando pada awalnya tidak menyadari sejauh mana serangan itu meluas ketika kekacauan sedang berlangsung. Pesawat tempur Israel butuh berjam-jam untuk memberikan dukungan udara kepada pasukan yang berusaha merespons situasi tersebut, meskipun pangkalan mereka hanya berjarak beberapa menit terbang dari lokasi kejadian.
Penyelidikan mendalam atas kegagalan Israel masih akan dilakukan, tetapi saat ini, fokus pasukan Israel adalah pada operasi militer balasan di Gaza. The New York Times melaporkan bahwa serangan Hamas telah menggoncangkan rasa aman Israel dan juga merusak reputasi internasionalnya sebagai mitra keamanan yang dapat diandalkan.
(Rahman Asmardika)