JAKARTA - Seorang patih bernama Djojodigdo, di Kadipaten Blitar, Jawa Timur, dikenal sakti mandraguna. Konon dia mempunyai ilmu Aji Pancasona atau ajian Rawa Rontek, jika dia terbunuh maka bisa hidup kembali apabila jasadnya menyentuh tanah.
Djojodigdo merupakan pengikut setia Pangeran Diponegoro. Dia juga memiliki keturuan darah biru atau trah ningrat dari Kerajaan Mataram karena merupakan putra Adipati Kulon Progo. Kesaktiannya teruji ketika terjadi peperangan antara Belanda dengan Pangeran Diponegoro.
Dilansir beragam sumber, Kamis (9/11/2023), Djojodigdo ikut berjuang melawan penjajah Belanda. Bahkan dia ikut perang gerilya meskipun saat itu Pangeran Diponegoro telah ditangkap dan diasingkan.
Djojodigdo menjadi orang yang paling ditakuti Belanda karena kesaktian Aji Pancasonanya yang dia miliki. Dia dapat beberapa kali hidup kembali meskipun sudah dieksekusi oleh para tentara Belanda.
Saat jasadnya dibuang, konon dia dapat hidup kembali tanpa sepengetahuan dari tentara Belanda. Namun pada saat itu wilayah Yogyakarta banyak dijaga oleh para tentara Belanda maka Djojodigdo memilih berperang secara gerilya dan menuju ke arah timur beserta para pengikutnya. Hingga akhirnya sampailah Djojodigdo beserta pengikutnya di wilayah Blitar bagian selatan.
Di kota ini tanpa sepengetahuan penguasa Kota Blitar, Djodigdo beserta pasukannya melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda sehingga Belanda merasa takut terhadap kesaktian Dojodigdo.
Akhirnya Belanda melepaskan pengawasan terhadap Kadipaten Blitar. Dengan adanya hal tersebut membuat Adipati Blitar merasa heran, siapa yang membuat Belanda melepaskan pengawasan terhadap daerahnya tersebut.
Selanjutnya, Adipati Blitar mengirim intelijen untuk mencari tahu dan pada akhirnya utusan telik sandi tersebut menemukan Djojodigdo di sebuah hutan yang masuk di wilayah Blitar Selatan.
Atas perintah Adipati Blitar, utusan telik sandi mengundang Djojodigdo untuk datang ke pendopo namun permintaan utusan Adipati Blitar ini ditolak dengan halus.
Alasannya adalah pada waktu itu Djojodigdo masih sibuk melatih pasukannya untuk melawan tentara Belanda. Karena penolakan halus dari Djojodigdo ini maka utusan telik sandi langsung pulang dan melapor ke Adipati Blitar.
Dua tahun kemudian Adipati Blitar kembali mengirim utusan namun saat itu patih di Kadipaten Blitar mangkat atau meninggal dunia dan harus segera dicarikan pengganti.
Maksud adipati mengirimkan utusannya yang kedua kalinya ini adalah agar Djojodigdo bersedia menjadi patih di Kadipaten Blitar. Dikarenakan banyaknya tentara Belanda yang meninggalkan daerah Blitar karena serangan dari pasukannya maka Djojodigdo bersedia menjadi patih di Kadipaten Blitar.
Sebagai keturunan darah biru atau trah ningrat yang pernah tinggal di kraton, ketika Djojodigdo diangkat menjadi patih sudah tidak asing lagi dengan sistem pemerintahan.