YANGON - Puluhan anggota pasukan keamanan Myanmar telah menyerah atau ditangkap, kata sebuah kelompok pemberontak pada Rabu, (15/11/2023) ketika serangan terkoordinasi oleh kelompok pemberontak yang memerangi junta semakin meningkat di beberapa wilayah negara itu.
Setidaknya 28 polisi menyerahkan senjatanya dan menyerah kepada Tentara Arakan (AA), sementara 10 tentara ditangkap, kata kelompok yang memperjuangkan otonomi di Negara Bagian Rakhine di Myanmar barat.
Reuters tidak dapat memverifikasi secara independen informasi dari AA, yang merupakan salah satu dari tiga kelompok pemberontak etnis minoritas yang melancarkan serangan terkoordinasi terhadap pasukan junta pada akhir Oktober.
Jam malam telah diberlakukan di ibu kota Negara Bagian Rakhine, Sittwe, di mana tank-tank militer terlihat, kata pemerintah di sana.
Pemberontak telah merebut beberapa kota dan pos militer, termasuk di perbatasan dengan Tiongkok, yang merupakan ujian terbesar bagi junta sejak militer mengambil alih kekuasaan melalui kudeta tahun 2021, menggulingkan pemerintahan terpilih yang dipimpin oleh peraih Nobel Aung San Suu Kyi.
Juru Bicara Junta Militer Zaw Min Tun, pada Selasa, (14/11/2023) menuduh kelompok pemberontak “menghancurkan seluruh negeri” dan mengatakan laporan tentang pos militer yang direbut adalah “propaganda”.
“Musuh mundur setelah kehilangan tentara. Kami mencoba menggabungkan pos-pos kecil secara strategis,” katanya sebagaimana dilansir Reuters.
Juru bicara tersebut mengatakan pertempuran sedang terjadi di negara bagian Shan, Rakhine dan Kayah. Dia tidak mengomentari laporan penyerahan pasukan junta.
Pertempuran juga dilaporkan terjadi di Negara Bagian Chin di barat laut, tempat 43 tentara Myanmar menyeberang ke negara bagian Mizoram di India setelah serangan pemberontak, kata seorang pejabat polisi di Mizoram.
Sebagian besar tentara Myanmar diterbangkan oleh pasukan India ke titik lain di perbatasan dan diserahkan kembali kepada pihak berwenang Myanmar, kata seorang pejabat keamanan India yang menolak disebutkan namanya.
Presiden Myanmar yang ditunjuk militer pekan lalu mengatakan negaranya berisiko terpecah belah karena respons yang tidak efektif terhadap pemberontakan yang dilakukan para pejuang yang dikecam oleh para jenderal sebagai “teroris”.
Militer selama beberapa dekade mengatakan bahwa mereka adalah satu-satunya institusi yang mampu menyatukan keberagaman Myanmar. Kritik terhadap pemerintahan militer menolak anggapan tersebut dan menyerukan sistem federal yang demokratis.
(Rahman Asmardika)