PERU - Jaksa penuntut utama Peru menyalahkan Presiden Dina Boluarte, atas kematian sejumlah demonstran selama protes anti-pemerintah.
Setelah penyelidikan selama 11 bulan, Jaksa Agung Patricia Benavides mengajukan pengaduan konstitusional terhadap Presiden pada Senin (27/11/2023).
Boluarte menggambarkannya sebagai "manuver politik yang tercela".
Presiden menuduh Benavides menggunakan pengaduan tersebut sebagai pengalih perhatian dari masalah hukumnya sendiri.
Jaksa Agung mengajukan pengaduan terhadap presiden hanya beberapa jam setelah dia sendiri dituduh memimpin jaringan korupsi, yang diduga membatalkan penyelidikan terhadap anggota parlemen dengan imbalan mereka menunjuk sekutu Benavides untuk menduduki jabatan penting di peradilan.
Benavides membantah melakukan kesalahan apa pun, memecat jaksa yang melontarkan tuduhan terhadap timnya, dan sejauh ini menolak seruan pengunduran dirinya.
Perselisihan antara Presiden Boluarte dan Jaksa Agung Benavides merupakan perkembangan terbaru dalam kesengsaraan politik Peru yang dimulai dengan tergulingnya Presiden Pedro Castillo pada Desember tahun lalu.
Castillo dicopot dari jabatannya oleh anggota parlemen setelah ia mencoba membubarkan Kongres dalam upaya untuk mencegah sidang pemakzulan.
Dina Boluarte, yang pernah menjadi wakil presiden Castillo, memihak Kongres dan dilantik sebagai presiden baru untuk menjalani sisa masa jabatan Castillo.
Namun para pendukung Castillo turun ke jalan untuk menuntut pengunduran dirinya dan pergolakan selama berminggu-minggu pun terjadi di mana para demonstran memblokir jalan raya utama dan menduduki bandara.
Pemerintahan Boluarte mengerahkan pasukan keamanan untuk memulihkan ketertiban dan mencabut blokade, yang telah menyebabkan ribuan wisatawan terdampar, melumpuhkan perdagangan dan menyebabkan kekurangan makanan dan bahan bakar di beberapa daerah.
Menurut Kantor Ombudsman Peru, setidaknya 49 pengunjuk rasa dan orang yang berada di sekitar tewas sejak Desember 2022 hingga Februari 2023 dalam bentrokan dengan pasukan keamanan.
Banyak dari jenazah tersebut mengalami luka tembak, yang menurut kelompok hak asasi manusia disebabkan oleh senjata yang ditembakkan oleh pasukan keamanan.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada bulan Mei, Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Amerika (IACHR) menyimpulkan bahwa penggunaan kekuatan yang tidak proporsional, tidak pandang bulu, dan mematikan merupakan elemen utama dalam respons negara terhadap protes tersebut.
Jaksa Agung Patricia Benavides meluncurkan penyelidikan atas kematian para pengunjuk rasa pada awal Januari lalu. Namun pengaduan yang dia ajukan pada Senin (27/11/2023) adalah tuduhan pertama yang diajukan terhadap pemerintah atas bentrokan tersebut.
Benavides mengatakan dalam pidatonya di TV pada Senin (27/11/2023) bahwa dia telah mengajukan "pengaduan konstitusional" terhadap Presiden Boluarte, dan Perdana Menteri (PM), Luis Alberto Otárola, dengan menuduh mereka melakukan pembunuhan.
Namun, tuduhan pembunuhan tersebut sepertinya tidak akan mengarah pada persidangan pidana dalam waktu dekat.
Berdasarkan konstitusi Peru, presiden dan anggota parlemen tidak dapat diadili saat mereka masih menjabat atas dugaan kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari peran mereka.
Jaksa Agung malah dapat mengajukan pengaduan konstitusional yang harus ditinjau oleh komite kongres agar dapat dilanjutkan.
Sekalipun pengaduan tersebut disetujui oleh mayoritas anggota Kongres, persidangan hanya akan dilanjutkan setelah Presiden Boluarte dan PM Otárola meninggalkan jabatannya.
Seperti diketahui, masa jabatan Boluarte akan berakhir pada Juli 2026, namun mengingat sejarah kerusuhan, pemakzulan, dan pengunduran diri yang terjadi di Peru baru-baru ini, tetap menjabat sampai saat itu akan menjadi sebuah tantangan.
Tidak ada presiden Peru yang menjabat lima tahun penuh sejak Ollanta Humala menyelesaikan masa jabatannya pada 2016.
(Susi Susanti)