“Saya merasa benar-benar hancur di dalam hati,” kenang Momade Issufo, yang bergegas menyelamatkan orang-orang segera setelah dia mendengar berita tentang karamnya kapal tersebut.
“Saya melihat mayat-mayat bertumpuk di pantai, beberapa di antaranya adalah anak-anak berusia tiga tahun. Orang-orang panik,” lanjutnya.
“Saya tidak punya pilihan, sebagai manusia saya harus membantu. Masih ada orang di perahu penyelamat, jadi kami mengangkut jenazah mereka dengan truk saya ke rumah kerabat mereka,” ungkaonya.
Pria berusia 44 tahun itu mengatakan sepupunya yang sedang hamil tua termasuk di antara korban tewas. Cobaan ini membuatnya merasa tertekan dan tidak mampu bekerja.
Issufo ingin pemerintah Mozambik membangun jembatan baru dari daratan ke pulau tersebut, yang merupakan Situs Warisan Dunia Unesco, sehingga masyarakat tidak harus bergantung pada perahu yang berbahaya.
Ribuan kapal penangkap ikan beroperasi secara ilegal sebagai kapal feri di sepanjang garis pantai sepanjang 2.750 km (1.708 mil) di negara tersebut, berdasarkan pengakuan pemerintah sendiri.
Para penumpang mengatakan kepada BBC bahwa operator yang tidak diatur sering kali membebani kapal secara berlebihan untuk meningkatkan keuntungan mereka.
Lalu mengapa Mozambik membiarkan hal ini terjadi? Kompensasi apa yang akan diterima para korban? Dan bagaimana pihak berwenang menghentikan tragedi serupa terjadi lagi?
Pemerintah awalnya menolak menanggapi permintaan komentar BBC. Seorang pejabat dari badan maritim negara itu juga mengatakan kepada BBC bahwa mereka berada di bawah instruksi untuk tidak memberikan komentar.
Namun, pejabat setempat di provinsi Nampula, Menteri Luar Negeri Jaime Neto, kemudian mengatakan kepada BBC bahwa transportasi, makanan dan dukungan psikologis juga ditawarkan, dan peti mati untuk korban tewas juga disediakan.
Belum ada pembicaraan mengenai kompensasi atau bantuan keuangan.