Perjanjian Roem-Roijen Mengusik Pikiran Jenderal Soedirman

Arief Setyadi , Jurnalis
Rabu 10 Juli 2024 06:05 WIB
Jenderal Soedirman (Foto: Ist)
Share :

JAKARTA - Perundingan Roem-Roijen setelah hampir sebulan akhirnya menemui kesepakatan antara perwakilan Indonesia dan Belanda pada 7 Mei 1949.

Perjanjian ini menjadi landasan penting menuju Konferensi Meja Bundar, yang pada akhirnya mengantarkan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Desember 1949, meskipun proklamasi kemerdekaan telah dilakukan pada 17 Agustus 1945.

Hal menarik yang bakal dibahas adalah kisah reaksi Panglima Besar Jenderal Soedirman terhadap hasil perjanjian tersebut. Bukan soal latar belakang negosiasi antara Mohammad Roem dan Herman van Roijen.

Soedirman memandang perjanjian yang ditandatangani pada 7 Mei 1949 dengan skeptis. Ia khawatir Belanda akan melanggar perjanjian ini, seperti yang terjadi setelah Perjanjian Linggajati dan Renville.

Selain itu, sebagai lulusan pendidikan perwira Pembela Tanah Air (PETA), ia mempertanyakan legitimasi Mohammad Roem sebagai perwakilan pemerintah Indonesia. Menurut Soedirman, sejak Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, Presiden Soekarno telah menugaskan Menteri Pertahanan Sjafroeddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), sehingga seharusnya Sjafroeddin-lah yang berhak menjadi wakil sah Indonesia.

Soedirman juga merasa tersinggung karena dalam perjanjian tersebut, Roem tidak secara eksplisit menyebut Tentara Nasional Indonesia (TNI), melainkan hanya menyebut "kesatuan bersenjata." Hal ini dianggap sebagai pengabaian terhadap TNI dan menyamakan pejuang gerilya TNI dengan gerombolan bersenjata.

Menurut Soedirman, pernyataan ini seolah-olah mendukung propaganda Belanda yang menyatakan bahwa TNI telah hancur. Padahal, Serangan Umum 1 Maret 1949 menunjukkan bahwa TNI masih ada dan berjuang.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya