JAKARTA - Tokoh ulama terkemuka Indonesia KH Hasyim Asyari, meninggal dunia pada 7 Ramadhan 1366 H atau 25 Juli 1947. Peristiwa itu meninggalkan duka mendalam, terlebih terjadi melawan penjajah Jepang dan Agresi Militer Belanda II.
Dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001), pada 21 Juli 1947 catatan KH Saifuddin Zuhri, Belanda melancarkan serangan mendadak di wilayah Republik Indonesia, yang menyebabkan banyak korban, terutama dari kalangan pejuang santri Hizbullah dan Sabilillah.
Umat Islam saat itu tidak hanya melakukan persiapan militer, tetapi juga menggelar gerakan spiritual. Dalam setiap sholat, qunut nazilah dibacakan sebagai doa khusus untuk memohon kemenangan.
Akibat serangan ini, wilayah Republik Indonesia semakin menyusut hingga dalam istilah KH Saifuddin Zuhri, "seukuran daun kelor."
Wilayah yang tersisa membentang dari Mojokerto di timur hingga Gombong (Kebumen) di barat, dengan Yogyakarta sebagai pusatnya.
Kota Malang jatuh ke tangan Belanda pada 21 Juli 1947, mengagetkan banyak pihak, termasuk KH Hasyim Asy’ari. Ketika kabar ini sampai kepadanya melalui Kiai Gufron, pemimpin Sabilillah Surabaya, Kiai Hasyim sedang mengajar mengaji.
KH Hasyim Asy’ari yang mendengar berita tersebut langsung memegangi kepalanya dan berzikir: “Masyaallah, Masyaallah!” Beliau pingsan dan mengalami pendarahan otak. Dokter yang datang dari Jombang tidak dapat berbuat banyak karena kondisi beliau yang sudah sangat serius.
Utusan Panglima Besar Soedirman dan Bung Tomo yang datang menyampaikan berita tentang jatuhnya Malang tidak dapat bertemu KH Hasyim Asy’ari. Pada malam 7 Ramadhan 1366 H, KH Hasyim Asy’ari menghembuskan nafas terakhirnya.
Berita wafatnya KH Hasyim Asy’ari membawa duka mendalam bagi kalangan pesantren, masyarakat Indonesia, dan tokoh-tokoh nasionalis. Kehilangan seorang ulama yang selama ini menjadi panutan dalam perjuangan kemerdekaan sangat dirasakan, terutama ketika perannya masih sangat dibutuhkan.
KH Hasyim Asy’ari dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sebagai seorang ulama besar dengan puluhan karya kitab dan manuskrip, beliau sangat peduli dengan nasib bangsanya. Saat menuntut ilmu di Makkah, Arab Saudi, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari selalu memikirkan kondisi bangsa Indonesia yang masih dijajah.
Kegelisahan ini dibahas dalam sebuah pertemuan di Multazam dengan sahabat-sahabat dari Afrika, Asia, dan negara-negara Arab sebelum beliau kembali ke Indonesia.
Menurut Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010), pertemuan di bulan Ramadan tersebut berlangsung di Masjidil Haram, Makkah. Mereka sepakat untuk mengangkat sumpah di depan Multazam, dekat pintu Ka’bah, guna menanggapi kondisi negara masing-masing yang terjajah.
Kesepakatan ini berisi janji yang harus ditepati ketika mereka kembali ke negara asal. Janji tersebut mencakup tekad untuk berjuang di jalan Allah SWT demi menegakkan agama Islam serta berupaya menyatukan umat Islam dalam penyebaran dan pendalaman ilmu pengetahuan serta agama Islam.
(Arief Setyadi )