Dari sanalah masyarakat Malang mulai menggunakan bahasa walikan khas Malang sebagai bahasa sandi dengan sesama orang Malang. Bahasa komunikasi ini untuk menghindari adanya penyadapan dan pembocoran informasi dari para orang Indonesia, yang turut menjadi spionase Belanda.
"(Bahasa walikan) digunakan sebagai alat komunikasi perjuangan orang Malang sendiri, orang Malang sendiri berkomunikasi dengan orang Malang yang berada di luar garis demarkasi atau garis batas. Garis batasnya contohnya Kedungkandang, Kedungkandang Bululawang ke sana miliknya Republik Indonesia sini (di Kota Malang milik) Belanda, (daerah) Sumbersari itu perbatasan, Singosari itu perbatasan, di perbatasan-perbatasan itulah bahasa walikan dipergunakan," paparnya.
Dari sekian pasukan pejuang yang kerap memberikan perlawanan kepada Belanda. Sosok pasukan Hamid Rusdi, yang kerap menggunakan bahasa walikan sebagai bahasa walikan untuk sandi memuluskan perjuangan mengusir Belanda dan sekutunya dari Malang.
"Hamid Rusdi pimpinan pergerakan khususnya tentara TRI (Tentara Rakyat Indonesia) yang pada saat itu dia harus hijrah di garis demarkasi, yang ketika berkomunikasi dengan orang kita (orang Indonesia) di sini (di Malang) kesulitan. Oleh karena itu, digunakan bahasa - bahasa itu, yang paling banyak teman-teman GRK (Gerilyawan Rakyat Kota), semuanya masyarakat Malang mereka menggunakan komunikasi itu, agar tidak bisa disadap didengarkan oleh spionase Belanda," terangnya.
Namun, Agung memaparkan bila, bahasa walikan khas Malang ini tidak digunakan saat masa perjuangan sebelum kemerdekaan. Sebab, saat itu jelas lawan yang dihadapi dibandingkan setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
"Kalau untuk perjuangan belum, dia baru muncul sandi - sandi itu ketika era bersiap mana kawan mana lawan, sehingga kita gunakan bahasa sandi periode 1947 - 1949 periode keemasan bahasa walikan, karena bahasa sandi komunikasi antar pejuang," katanya.