Catatan Kelam Gempa Besar dan Tsunami di Bengkulu, Pernah Diguncang Kekuatan M9,0

Demon Fajri, Jurnalis
Selasa 20 Agustus 2024 11:32 WIB
Ilustrasi
Share :

Estimasi Gelombang Tsunami

Dengan cara memasukan parameter gempa berkekuatan M=8,5 kedalaman dangkal serta terjadi deformasi vertikal pada wilayah megathrust Bengkulu, waktu kedatangan serta ketinggian maksimum gelombang tsunami dapat diperkirakan.

Input parameter gempa yang digunakan berdasarkan sejarah gempa yang pernah terjadi serta potensi kekuatan maksimum yang ada pada megathrust segmen Enggano, pulau Enggano Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara.

Berdasarkan simulasi sistem Tsunami Observation and Simulation Terminal (TOAST), jelas Sabar, estimasi waktu kedatangan gelombang tsunami di pulau Enggano, datang dalam waktu kurang lebih 20 menit setelah kejadian gempa bumi.

Sementara estimasi ketinggian gelombang tsunami, sampai Sabar, maksimumnya mencapai 14 meter. Lalu untuk wilayah di sekitar pantai pesisir Kota Bengkulu, estimasi waktu kedatangan gelombang tsunami, setelah gempa diperkirakan kurang lebih 50 menit. Perkiraan ketinggian tsunami maksimum di wilayah ini mencapai 6,5 meter.

''Estimasi waktu relatif lama sampai di Kabupaten Mukomuko. Diperkirakan berkisar 60 menit setelah kejadian gempa, dengan perkiraan ketinggian tsunami maksimum berkisar 5 meter,'' terang Sabar.

Mitigasi Tsunami

Lantas sistem mitigasi tsunami seperti apa yang paling cocok untuk wilayah Bengkulu? Mitigasi atau pengurangan risiko bencana memiliki dua jenis. Yakni, mitigasi secara struktural dan non struktural.

Dalam konteks tsunami, kata Sabar, mitigasi struktur merupakan upaya membangun tembok penahan gelombang atau tanggul, membangun pemecah ombak atau break water, membangun shelter tempat pengungsian sementara dan lain-lain.

Mitigasi struktur secara alami. Yaitu melestarikan tumbuhan pantai sebagai penahan ombak atau pemecah energi gelombang tsunami. Tumbuhan pantai ini antara lain pohon bakau, hutan mangrove, pinus, kelapa dan lain-lain.

Sementara mitigasi yang berhubungan dengan non struktur, sambung Sabar, dengan mengadakan pelatihan dan sosialisasi pada masyarakat pesisir pantai. 

Lalu melakukan simulasi (drill), membuat peta kawasan rawan tsunami, membuat peta jalur evakuasi, mengeluarkan kebijakan terkait pembangunan di wilayah pesisir.

Penerapan mitigasi baik secara struktur maupun nonstruktur harus disesuaikan dengan karakter wilayah masing-masing. Contohnya untuk kawasan di pulau Enggano, shelter tempat evakuasi sangat diperlukan.

Dalam waktu yang singkat dan potensi gelombang tsunami yang tinggi, masyarakat di pulau Enggano memerlukan tempat berlindung yang aman, kokoh dan mudah dijangkau.

''Shelter yang dibangun setidaknya memiliki ketinggian 20 meter karena berdasarkan simulasi, potensi tinggi gelombang tsunami mencapai 14 meter,'' ujar Sabar.

Berbeda dengan daerah kawasan pantai Kota Bengkulu, lanjut Sabar, di daerah ini potensi gelombang tsunami kurang dari 10 meter. Ada dua cara yang bisa diterapkan dalam membangun mitigasi struktur.

Seperti membangun tembok penahan gelombang (tanggul) atau melestarikan tembok alami. Yaitu, tumbuhan pantai sebagai pemecah energi gelombang tsunami. 

Namun pilihan pertama membangun tembok penahan gelombang memiliki risiko biaya yang sangat mahal. Selain itu, semakin tua usianya maka kemampuan tembok akan semakin rentan mengalami kerusakan. 

Berbeda dengan hutan mangrove. Selain biaya yang murah, semakin tua usianya, maka kemampuan akarnya menahan gelombang akan semakin kuat.

''Manfaat mangrove juga berfungsi sebagai habitat biota laut juga sebagai penahan abrasi dan erosi,'' jelas Sabar.

Mangrove dapat dimanfaatkan untuk menghadang atau setidaknya meredam gelombang laut. Seperti gelombang tsunami. Sebab dengan akar tunjangnya yang tumbuh rapat dan melebar, mangrove akan bekerja seperti jaring.

Tsunami Tohoku, Jepang 2011, sampai Sabar, menjadi pelajaran penting. Mitigasi menggunakan tembok (tanggul) tidak sepenuhnya aman. Di mana tanggul yang dibangun setinggi 10 meter, tidak mampu menahan gelombang tsunami Jepang, pada 2011.

Sedangkan kasus tsunami Donggala pada 2018, kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, berhasil selamat dari amukan tsunami berkat hutan Banggo.

Banggo, kata Sabar, merupakan sebutan sehari-hari untuk mangrove masyarakat di Kabonga Besar. Di area poros Palu-Donggala, ada kawasan hutan mangrove Gonenggati. Lebih kurang 20 tahun terakhir masyarakat setempat merawatnya, dengan total luas areanya sekira 10 hektare (Ha).

''Batang-batang pohonnya tumbuh rapat setinggi lebih dari lima meter, dengan akar-akar yang menghujam kuat. Kabonga Besar terhindar dari petaka saat tsunami menerjang,'' jelas Sabar.

Di Donggala, terang Sabar, data korban terbilang kecil. Sepuluh rumah rusak dan seorang anak meninggal dunia. Kondisi berbeda terjadi di pesisir Kota Palu yang tak memiliki hutan mangrove atau vegetasi pantai lain.

Sebab di Palu sejauh mata memandang hanya tampak puing bangunan. Sehingga korban hilang dan meninggal karena tsunami mencapai 1.204 jiwa.

''Banyak manfaat mangrove, tetap ada kelemahan untuk gelombang tsunami lebih dari 10 meter. Mangrove memiliki ketinggian terbatas berkisar 5 hingga 6 meter. Sehingga untuk gelombang tsunami dengan ketinggian lebih dari 10 meter mangrove tidak mampu meredam secara signifikan,'' beber Sabar.

 

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya