BENGKULU - Provinsi berjuluk Bumi Rafflesia ini sering dilanda banyak gempa besar dengan kedalaman dangkal. Dari catatan sejarah gempa. Daerah ini didominasi gempa dengan mekanisme sesar naik. Sebab Bengkulu merupakan suatu wilayah dengan tatanan tektonik atau lempeng luas yang memiliki mekanisme pergerakan rata-rata sesar naik.
Berdasarkan Dokumen Kajian Risiko Bencana Provinsi Bengkulu, tahun 2022-2026, kata Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bengkulu, Khristian Hermansyah, di Bengkulu daerah rawan bencana gempa diiringi gelombang tsunami terdapat ditujuh kabupaten dan kota.
Seperti Kota Bengkulu, Kabupaten Kaur, Bengkulu Selatan, Seluma, Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara dan Kabupaten Mukomuko. Dari tujuh daerah tersebut tersebar di 43 kecamatan.
Derah rawan bencana gempa dan tsunami, jelas Khristian, dihuni 119.669 jiwa. Ratusan ribu jumlah penduduk itu berpotensi terpapar bencana tsunami.
"Ada 7 kabupaten dan kota yang rawan gempa diiringi gelombang tsunami. Tersebar di 43 kecamatan,'' kata Khristian, Senin (19/8/2024).
Merujuk peta sumber dan bahaya gempa Indonesia tahun 2017. Bengkulu setidaknya terdapat dua segmen subduksi. Megathrust Mentawai-Pagai dan megathrust Enggano, namanya.
Dua segmen tersebut menjadi generator utama untuk gempa megathrust di wilayah Bengkulu. Dengan setiap segmen memiliki potensi kekuatan gempa maksimum yang berbeda.
Pada segmen megathrust Mentawai-Pagai, kekuatan maksimum gempa mencapai M=8.9. Sementara pada segmen Enggano kekuatan maksimum-nya sedikit lebih kecil, M=8.4.
''Bengkulu kerap diguncang gempa karena dilalui dua segmen subduksi megathrust,'' kata Pengamat Meteorologi Dan Geofisika (PMG) Ahli Muda Stasiun Geofisika, Kelas III Kepahiang, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Bengkulu, Sabar Ardiansyah, Senin (19/8/2024).
Sejarah Gempa Besar
Wilayah ini sempat diguncang gempa berkekuatan dahsyat, Minggu 4 Juni 2000 dengan kekuatan Mw=7,3. Kemudian, pada Rabu 12 September 2007, berkekuatan Mw=8,4. Dua gempa besar itu berlokasi relatif berdekatan.
Dua gempa tersebut pada dasarnya dibangkitkan segmen megathrust yang berbeda. Gempa yang terjadi pada Minggu 4 Juni 2000, disebabkan megathrust Enggano. Sementara gempa pada Rabu 12 September 2007, dibangkitkan megathrust Mentawai-Pagai.
Segmen Enggano, terang Sabar, sejak tahun 2000 hingga 2019 belum ada gempa besar melebihi M=7,0 yang terjadi pada segmen tersebut. Meskipun demikian aktivitas segmen Enggano tetap tinggi.
Adanya rekaman gempa-gempa kecil yang tercatat di BMKG Kepahiang, terang Sabar, membuat segmen ini terus melepaskan energi sepanjang waktu dalam bentuk gempa-gempa kecil.
Pada segmen megathrust Mentawai-Pagai, jelas Sabar, selain gempa pada Rabu 12 September 2007, gempa besar terakhir terjadi pada Senin 25 Oktober 2010, dengan kekuatan Mw=7,7. Gempa ini diikuti gelombang tsunami dan menelan banyak korban jiwa.
Secara langsung gempa 2010, terang Sabar, memang tidak berdampak pada daerah Bengkulu. Namun getaran gempa dirasakan cukup kuat dibeberapa daerah. Seperti di Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Bengkulu Utara dan Kota Bengkulu.
Berdasarkan catatan sejarah gempa di masa lalu, tambah Sabar, zona megathrust Mentawai-Pagai ini pernah mencatat sejarah kelam dengan terjadi gempa dahsyat pada tahun 1883 berkekuatam M=9,0.
Dampaknya tidak hanya sekitar wilayah Sumatera Barat. Melainkan wilayah lain ikut terdampak. Seperti Bengkulu. Dampak gempa itu menimbulkan gelombang tsunami di Bengkulu.
Empat tahun lalu (2020-2024). Segmen Enggano kembali menunjukkan eksistensinya. Tepatnya, pada Kamis 19 Agustus 2020, dengan gempa berkekuatan M=6,9 dan M=6,8.
Intensitas gempa itu maksimum mencapai IV MMI dirasakan di Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Utara, Mukomuko, Seluma dan Kabupaten Kepahiang.
Lalu, III MMI dirasakan di Kabupaten Bengkulu selatan, Kaur, Curup dan Kabupaten Lebong dan II-III MMI dirasakan di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Intensitas IV MMI ini berpotensi mengakibatkan kerusakan pada perabot rumah tangga.
Menyimpan Potensi Gempa Dahsyat
Berdasarkan hasil analisis, kata PMG Ahli Muda Stasiun Geofisika Kepahiang, Provinsi Bengkulu, Sabar Ardiansyah, menunjukkan daerah Bengkulu memilki potensi gempa berkekuatan M=7,5.
Siklus kegempaan di Bengkulu memasuki periode precursory gap. Hal ini ditandai dengan penurunan aktivitas kegempaan. Sebelum terjadi gempa utama biasanya didahului suatu pola atau siklus kegempaan.
Siklus ini meliputi periode normal, periode anomali ditandai dengan peningkatan aktivitas. Lalu periode precursory gap ditandai dengan penurunan aktivitas seismik, dan periode terjadinya gempa utama.
Karakteristik kegempaan di Bengkulu sejak gempa Rabu 12 September 2007 beserta gempa susulan berlangsung cukup lama hingga mencapai akhir tahun 2008.
Hal ini dapat dilihat dari aktivitas kegempaan Magnitudo (M=) 4,5 masih tergolong tinggi dengan total event mencapai 133 event pada tahun 2007 dan 100 event pada tahun 2008.
Periode swarm sendiri dimulai Kamis 1 Januari 2009 hingga Sabtu 31 Desember 2011. Dalam waktu dua tahun ini jumlah event dengan Magnitudo (M=) 4,5 tercatat sebanyak 184 event dengan Mp= 6,4.
Periode penurunan aktivitas seismik terindikasi sejak Minggu 1 Januari 2012 hingga sekarang. Dalam rentang waktu dua tahun itu jumlah event M=4,5 tercatat hanya 11 event. Periode ini dapat diinterpretasikan sebagai periode pengumpulan energi atau akumulasi stress.
''Wilayah Bengkulu saat ini diperkirakan memiliki potensi gempa dengan kekuatan M=7,5,'' sampai Sabar.
Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa setelah terjadi gempa Rabu 12 September 2007, saat ini di kawasan Bengkulu dalam tahap akumulasi energi. Seperti penelitian Rohadi.
Perhitungan b-value baik secara temporal maupun spasial di seluruh kawasan pantai barat Sumatera periode tahun 1973-2008.
Hasilnya menunjukkan khususnya di wilayah rupture zone gempa Rabu 12 September 2007 memiliki nilai b-value rendah.
Berdasarkan analisis katalog data gempa periode 1971-2013, di Bengkulu terindikasi adanya pola atau siklus teratur sebelum terjadinya gempa utama signifikan. Siklus ini mengikuti pola.
Meliputi periode normal, periode anomali peningkatan seismisitas, periode penurunan aktivitas seismik atau precursory gap dan periode terjadinya gempa utama.
Wilayah dengan b-value rendah ini berpeluang terjadi gempa besar diwaktu yang akan datang. Karakteristik kegempaan di daerah Bengkulu bisa dijadikan salah satu metode untuk prekursor gempa jangka panjang dalam upaya mitigasi bencana.
''Untuk kapan terjanya gempa belum dapat diprediksi. Siklus kegempaan di Bengkulu saat ini dalam periode precursory gap atau periode penurunan aktivitas seismik,'' jelas Sabar.
Fenomena Prekursor Gempa
Ada beberapa prekursor gempa. Seperti deformasi kerak bumi, perubahan level muka air laut, regangan, tegangan kerak bumi, gempa pendahuluan, anomali aktivitas kegempaan, gempa swarm, b-value, perubahan kecepatan gelombang seismik, perubahan air tanah dan gas radon yang merupakan fenomena pendahuluan sebelum terjadinya gempa besar.
Fenomena prekursor gempa, jelas Sabar, bisa berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Hal ini lantaran adanya perbedaan struktur geologi tiap daerah.
Beberapa penelitian menunjukkan, fluktuasi perubahan aktivitas seismisitas berhubungan erat sebagai indikator prekursor gempa.
Sementara anomali seismisitas, kata Sabar, merupakan prekursor yang berhubungan dengan akumulasi stress atau akumulasi energi yang dapat digunakan sebagai mitigasi bencana. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan anomali seismisitas.
Kemudian prekursor kesenyapan seismisitas (seismic quiescence), menggambarkan penurunan aktivitas seismisitas, fenomena ini banyak dikaji para ahli untuk memprediksi gempa. Pola seismic quiescence sebagai aktivitas seismik yang mendahului terjadinya gempabumi besar.
Berdasarkan observasi, sebelum terjadi gempa besar telah terjadi aktivitas seismisitas disekitar episenter gempa besar tersebut. Setelah terjadi seismic quiescence biasanya akan diikuti dengan peningkatan gempa sebagai gempabumi pendahuluan (foreshock).
''Aktivitas foreshock merepresentasikan pergerakan mikro lempeng bumi (micro-cracking) sebelum terjadi rupture,'' beber Sabar.
Lalu peningkatan aktivitas seismisitas. Ini merupakan bagian dari siklus gempa. Aktivitas ini disebut sebagai anomali seismisitas (swarm). Aktivitas swarm biasanya berasosiasi dengan aktivitas vulkanik. Namun berasosiasi dengan aktivitas non-vulkanik.
''Periode gempa swarm biasanya terjadi beberapa waktu disekitar wilayah episenter gempa besar sebelum terjadi gempa besar tersebut,'' imbuh Sabar.
Karakteristik Kegempaan
Berdasarkan hasil pengolahan data katalog gempa daerah Bengkulu tahun 1971-2013, terdapat pola sebelum terjadi gempa utama berkekuatan 7,0 SR. Pola atau siklus yang terjadi dimulai dari aktivitas normal.
Kemudian diikuti dengan anomali seismisitas dengan indikasi peningkatan seismisitas (swarm). Selanjutnya periode penurunan aktivitas seismisitas. Lalu periode terjadinya gempa utama.
Gempa utama tahun 1975, 1994, 2000 dan 2007, sampai Sabar, selalu didahului siklus penurunan aktivitas kegempaan.
Lamanya periode tiap-tiap siklus cukup bervariasi. Seperti karakteristik kegempaan sebelum gempa Rabu 1 Oktober 1975 berkekuatan 7,0 SR.
Gempa Rabu 1 Oktober 1975, terletak pada koordinat 4,88 Lintang Selatan (LS) 102,19 Bujur Timur (BT) dengan kedalaman 33 km.
Sebelum terjadi gempa utama ini siklus kegempaan dimulai dari periode normal selama periode Jumat, 1 Januari 1971 - Jumat, 31 Desember 1971 (365 hari).
Gempa dengan M=4,5 hanya terjadi 9 event. Siklus selanjutnya, sambung Sabar, diikuti dengan periode peningkatan aktivitas seismisitas (swarm) selama Sabtu, 1 Januari 1972 - Minggu, 31 Desember 1972 (365 hari) terjadi gempa dengan M=4,5 sebanyak 34 event. Setelah periode swarm, adanya seismic quiescence, ditandai dengan penurunan aktivitas kegempaan.
Periode ini berlangsung selama Senin 1 Januari 1973 - Selasa 30 September 1975, dengan Magnitudo 4,5. Periode ini hanya 20 event. Selama periode swarm, dua gempa terbesar terjadi dengan M= 6,0 dan M=5,4. Sehingga magnitudo rata-rata M=5,7.
Kemudian karakteristik kegempaan sebelum gempa Selasa, 15 Februari 1994, Magnitudo 7,0 terletak di koordinat 4,97 LS 104,30 BT dengan kedalaman 23 kilometer. Kondisi ini sama seperti siklus gempa, Rabu, 1 Oktober 1975.
Sebelum terjadi gempa pada Selasa 15 Februari 1994 mengikuti pola yang sama. Di mulai dari periode normal. Yaitu, selama Kamis, 1 Januari 1976 - Kamis, 31 Desember 1981, dengan M=4,5 terjadi 110 event.
Kemudian diikuti periode swarm atau peningkatan aktivitas seismisitas. Pada periode, Jumat, 1 Januari 1982 - Kamis, 31 Januari 1985, jumlah event mencapai 105 event. Selama periode ini dua magnitudo terbesar berkekuatan M=6,6 dan M=6,5.
Periode seismic quiescence terjadi selama Rabu, 1 Januari 1986 - Senin, 14 Februari 1994, dengan jumlah event sebanyak 112.
Sementara karakteristik kegempaan sebelum gempa, pada Minggu, 4 Juni 2000, kekuatannya M=7,9. Gempa itu merupakan salah satu gempa yang menyebabkan banyak korban kerusakan di Bengkulu.
Gempa ini terletak pada koordinat 4,72 Lintang Selatan 102,04 Bujur Timur pada kedalaman 33 km. Lima tahun sebelum terjadi gempa utama, terindikasi adanya siklus yang teratur sebagai prekursor gempa.
Periode normal selama dua tahun, Minggu 1 Januari 1995 - Selasa, 31 Desember 1996. Gempa dengan Magnitudo 4,5 hanya 15 event.
Setelah periode normal ini, diikuti dengan periode anomali seismisitas atau peningkatan aktivitas seismik (swarm) selama satu tahun mulai, Rabu 1 Januari 1997 - Rabu, 31 Desember 1997, sebanyak 39 event dengan kekuatan rata-rata M=6,5.
Usai periode swarm diikuti periode penurunan aktivitas seismik (precursory gap) selama Kamis, 1 Januari 1998 - Sabtu, 3 Juni 2000 dengan jumlah 13 event M=4,5.
Kemudian karakteristik kegempaan sebelum gempa, Rabu, 12 September 2007, M=8,5. Gempa ini mengakibatkan kerusakan di Bengkulu, terletak di koordinat 4,52 LS 101,37 BT pada kedalaman 34 km.
Di lihat dari siklus seismik, pola kegempaan sebelum terjadi gempa utama berbeda dengan tiga gempa signifikan sebelumnya.
Di mana sebelum gempa utama hanya ada dua siklus. Yaitu, siklus anomali peningkatan aktivitas seismik (swarm) dan siklus penurunan aktivitas seismik (precursory gap).
Periode anomali swarm berlangsung selama, Senin, 1 Januari 2001 - Jumat, 31 Desember 2004. Dengan total 184 event. Rata-rata M=7,1.
Periode penurunan aktivitas seismisitas berlangsung selama, Sabtu, 1 Januari 2005 - Selasa, 11 September 2007. Setelah periode seismic quiescence, tepat pada Rabu, 12 September 2007 terjadi gempa utama (Mm) dengan M=8,5.
Regresi formula perkiraan magnitudo gempa di Bengkulu (Predictive Regressions), berdasarkan parameter masing-masing karakteristik kegempaan sebelum terjadi gempa utama.
Maka bisa dihitung formula yang menyatakan hubungan antara magnitudo rata-rata saat terjadi periode swarm (Mp) terhadap lamanya periode swarm (Tp).
''Artinya dugaan besarnya magnitudo gempabumi utama bisa dihitung jika siklus kegempaan pada periode swarm telah dilewati sebelum terjadinya gempabumi utama,'' jelas Sabar.
Estimasi Gelombang Tsunami
Dengan cara memasukan parameter gempa berkekuatan M=8,5 kedalaman dangkal serta terjadi deformasi vertikal pada wilayah megathrust Bengkulu, waktu kedatangan serta ketinggian maksimum gelombang tsunami dapat diperkirakan.
Input parameter gempa yang digunakan berdasarkan sejarah gempa yang pernah terjadi serta potensi kekuatan maksimum yang ada pada megathrust segmen Enggano, pulau Enggano Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara.
Berdasarkan simulasi sistem Tsunami Observation and Simulation Terminal (TOAST), jelas Sabar, estimasi waktu kedatangan gelombang tsunami di pulau Enggano, datang dalam waktu kurang lebih 20 menit setelah kejadian gempa bumi.
Sementara estimasi ketinggian gelombang tsunami, sampai Sabar, maksimumnya mencapai 14 meter. Lalu untuk wilayah di sekitar pantai pesisir Kota Bengkulu, estimasi waktu kedatangan gelombang tsunami, setelah gempa diperkirakan kurang lebih 50 menit. Perkiraan ketinggian tsunami maksimum di wilayah ini mencapai 6,5 meter.
''Estimasi waktu relatif lama sampai di Kabupaten Mukomuko. Diperkirakan berkisar 60 menit setelah kejadian gempa, dengan perkiraan ketinggian tsunami maksimum berkisar 5 meter,'' terang Sabar.
Mitigasi Tsunami
Lantas sistem mitigasi tsunami seperti apa yang paling cocok untuk wilayah Bengkulu? Mitigasi atau pengurangan risiko bencana memiliki dua jenis. Yakni, mitigasi secara struktural dan non struktural.
Dalam konteks tsunami, kata Sabar, mitigasi struktur merupakan upaya membangun tembok penahan gelombang atau tanggul, membangun pemecah ombak atau break water, membangun shelter tempat pengungsian sementara dan lain-lain.
Mitigasi struktur secara alami. Yaitu melestarikan tumbuhan pantai sebagai penahan ombak atau pemecah energi gelombang tsunami. Tumbuhan pantai ini antara lain pohon bakau, hutan mangrove, pinus, kelapa dan lain-lain.
Sementara mitigasi yang berhubungan dengan non struktur, sambung Sabar, dengan mengadakan pelatihan dan sosialisasi pada masyarakat pesisir pantai.
Lalu melakukan simulasi (drill), membuat peta kawasan rawan tsunami, membuat peta jalur evakuasi, mengeluarkan kebijakan terkait pembangunan di wilayah pesisir.
Penerapan mitigasi baik secara struktur maupun nonstruktur harus disesuaikan dengan karakter wilayah masing-masing. Contohnya untuk kawasan di pulau Enggano, shelter tempat evakuasi sangat diperlukan.
Dalam waktu yang singkat dan potensi gelombang tsunami yang tinggi, masyarakat di pulau Enggano memerlukan tempat berlindung yang aman, kokoh dan mudah dijangkau.
''Shelter yang dibangun setidaknya memiliki ketinggian 20 meter karena berdasarkan simulasi, potensi tinggi gelombang tsunami mencapai 14 meter,'' ujar Sabar.
Berbeda dengan daerah kawasan pantai Kota Bengkulu, lanjut Sabar, di daerah ini potensi gelombang tsunami kurang dari 10 meter. Ada dua cara yang bisa diterapkan dalam membangun mitigasi struktur.
Seperti membangun tembok penahan gelombang (tanggul) atau melestarikan tembok alami. Yaitu, tumbuhan pantai sebagai pemecah energi gelombang tsunami.
Namun pilihan pertama membangun tembok penahan gelombang memiliki risiko biaya yang sangat mahal. Selain itu, semakin tua usianya maka kemampuan tembok akan semakin rentan mengalami kerusakan.
Berbeda dengan hutan mangrove. Selain biaya yang murah, semakin tua usianya, maka kemampuan akarnya menahan gelombang akan semakin kuat.
''Manfaat mangrove juga berfungsi sebagai habitat biota laut juga sebagai penahan abrasi dan erosi,'' jelas Sabar.
Mangrove dapat dimanfaatkan untuk menghadang atau setidaknya meredam gelombang laut. Seperti gelombang tsunami. Sebab dengan akar tunjangnya yang tumbuh rapat dan melebar, mangrove akan bekerja seperti jaring.
Tsunami Tohoku, Jepang 2011, sampai Sabar, menjadi pelajaran penting. Mitigasi menggunakan tembok (tanggul) tidak sepenuhnya aman. Di mana tanggul yang dibangun setinggi 10 meter, tidak mampu menahan gelombang tsunami Jepang, pada 2011.
Sedangkan kasus tsunami Donggala pada 2018, kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, berhasil selamat dari amukan tsunami berkat hutan Banggo.
Banggo, kata Sabar, merupakan sebutan sehari-hari untuk mangrove masyarakat di Kabonga Besar. Di area poros Palu-Donggala, ada kawasan hutan mangrove Gonenggati. Lebih kurang 20 tahun terakhir masyarakat setempat merawatnya, dengan total luas areanya sekira 10 hektare (Ha).
''Batang-batang pohonnya tumbuh rapat setinggi lebih dari lima meter, dengan akar-akar yang menghujam kuat. Kabonga Besar terhindar dari petaka saat tsunami menerjang,'' jelas Sabar.
Di Donggala, terang Sabar, data korban terbilang kecil. Sepuluh rumah rusak dan seorang anak meninggal dunia. Kondisi berbeda terjadi di pesisir Kota Palu yang tak memiliki hutan mangrove atau vegetasi pantai lain.
Sebab di Palu sejauh mata memandang hanya tampak puing bangunan. Sehingga korban hilang dan meninggal karena tsunami mencapai 1.204 jiwa.
''Banyak manfaat mangrove, tetap ada kelemahan untuk gelombang tsunami lebih dari 10 meter. Mangrove memiliki ketinggian terbatas berkisar 5 hingga 6 meter. Sehingga untuk gelombang tsunami dengan ketinggian lebih dari 10 meter mangrove tidak mampu meredam secara signifikan,'' beber Sabar.
Pasang 5 WRS New Gen
Provinsi ini rawan gempa dan gelombang tsunami, terdapat dua sumber gempa bumi yang setiap saat bisa terjadi. Pertama, potensi gempa terletak di wilayah lautan. Batas pertemuan dua lempeng. Lempeng Indo-Australia dan Eurasia, namanya.
Lempeng Indo-Australia, relatif bergerak ke arah utara. Sementara lempeng Eurasia bergerak ke arah Selatan. Sehingga karakteristik gempa dibagian laut memiliki kekuatan mulai dari gempa kecil hingga gempa besar.
Selain itu gempa yang terjadi bisa berpotensi menimbulkan gelombang tsunami jika syarat-syarat terpenuhi. Potensi gempa dari lautan juga memiliki potensi di wilayah daratan. Sebab adanya sistem patahan lokal Sumatera yang melalui wilayah Bengkulu.
Ada tiga patahan lokal yang ada di wilayah Bengkulu. Seperti patahan Musi (Segmen Musi) di Kabupaten Kepahiang, patahan Manna (Segmen Manna) di Kabupaten Bengkulu Selatan dan patahan Ketahun (Segmen Ketahun).
''Karakteristik gempa darat biasa terjadi dengan kekuatan lebih kecil dari gempa di laut,'' sampai Sabar.
Tingkat kerawanan gempa yang memicu gelombang tsunami di Bengkulu, Stasiun Geofisika, Kelas III Kepahiang, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Bengkulu telah memasang Warning Receiver System (WRS) New Gen.
WRS itu, kata Sabar, dipasang dilima lokasi di Bengkulu. Seperti Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kaur, Seluma, Bengkulu Utara, Kabupaten Mukomuko dan Kantor Stasiun Geofisika, Kelas III Kepahiang, BMKG Bengkulu di Kabupaten Kepahiang.
''Di Bengkulu ada 5 lokasi pemasangan WRS. WRS New Gen ini inovasi BMKG dalam penyebaran data dan informasi gempa bumi dan tsunami,'' kata Sabar.
WRS New Gen Bersifat Real Time
WRS New Gen merupakan peralatan penerima informasi gempa dan peringatan dini tsunami berupa smart display. Sehingga menjamin stakeholder menerima informasi gempa dan peringatan dini tsunami guna mengambil langkah selanjutnya.
Perbedaan dan kelebihan WRS New Gen, jelas Sabar, adanya informasi gempa bumi real time. Hal ini merupakan terobosan baru BMKG dalam penyebarluasan informasi gempa dan peringatan dini tsunami yang memberikan informasi gempa secara lebih cepat.
Pemasangan 5 WRS, sambung Sabar, untuk memperluas jangkauan informasi gempa dan peringatan dini tsunami. Di mana sistem WRS New Gen ini akan termonitor secara langsung di BMKG Pusat secara berkelanjutan selama 24/7.
Sehingga tingkat keberhasilan penyebaran informasi gempa dan informasi peringatan dini tsunami dari BMKG, kepada lembaga perantara atau institusi interface berjalan optimal dan dapat diterima dengan tepat sasaran.
Media komunikasi yang digunakan untuk mengirimkan informasi berupa komunikasi IP to IP yang bersifat dua arah, dari server dapat menjangkau ke client dan sebaliknya.
''WRS New Gen ini bersifat real time otomatis dari BMKG. Dengan jenis komunikasi dua arah ini, memungkinkan memantau status kesehatan dari perangkat secara remote dari Jakarta,'' jelas sabar.
Tujuan pemasangan sistem diseminasi (WRS New Gen), sampai Sabar, terpasangnya perangkat Warning Reciever System (WRS) New GenClient di 315 lokasi di wilayah berpotensi gempa bumi dan tsunami.
Selain itu, kata Sabar, terbangunnya sistem diseminasi informasi WRS terintegrasi dan termonitor setiap waktu 24/7. Lalu terjaganya tingkat keberhasilan penyebaran informasi WRS ke lembaga interface diatas 90 persen.
''Sasaran pemasangan sistem Diseminasi (WRS New Gen) meningkatkan layanan mitigasi gempa bumi dan tsunami serta memperluas jangkauan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami,'' ujar Sabar.
Evakuasi Mandiri
Sebagai masyarakat yang hidup berdampingan dengan zona seismik aktif. Masyarakat Bengkulu musti selalu dan dituntut membudayakan siaga bencana.
Secara alamiah segmen Mentawai maupun segmen Enggano terus melepas energi gempa. Baik dalam bentuk gempa kecil maupun gempa besar.
''Sampai saat ini kita belum mampu memprediksi secara akurat, kapan dan berapa besar kekuatan gempa yang akan terjadi,'' tegas Sabar.
Oleh karena itu, imbau Sabar, seluruh lapisan masyarakat selayaknya harus menyiapkan diri untuk terus meningkatkan upaya mitigasi. Menguasai jalur evakuasi di sekitar lingkungan.
Selain itu, masyarakat harus mengerti cara penyelamatan diri saat terjadi gempa kuat yang berdampak pada gelombang tsunami. Guncangan gempa kuat dan durasi yang cukup lama berkisar 20 detik sebagai peringatan dini dari alam.
Beberapa kasus, jelas Sabar, ada gempa yang tidak dirasakan kuat, namun dengan durasi yang cukup lama sekira >60 detik dapat menjadi tanda gempa besar yang dapat memicu gelombang tsunami. Seperti, tsunami Mentawai 2010.
Artinya, tambah Sabar, tanpa harus menunggu peringatan resmi dari pemerintah, masyarakat harus segera menjauhi pantai, saat terjadi gempa kuat dan durasi lama.
Gelombang tsunami datang dalam waktu yang sangat singkat sebelum datangnya peringatan resmi dari pemerintah.
''Evakuasi mandiri harus menjadi budaya yang tertanam sejak dini,'' imbau Sabar.
Dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami, dari BPBD Provinsi Bengkulu, telah melakukan mitigasi berupa pelatihan kesiap-siagaan bencana, sosialisasi kepada masyarakat terkait ancaman dan upaya mitigasinya.
Lalu membentuk desa/kelurahan tangguh bencana serta menyusun rencana kontijensi bencana gempa bumi dan tsunami.
''Kita dari BPBD juga menganggarkan dan mengusulkan ke BNPB setiap tahun, buffer stock makanan siap saji. Untuk peralatan serta pelengkapan yang ada dilaksanakan pemeliharaan berkala,'' jelas Sekretaris BPBD Provinsi Bengkulu, Khristian Hermansyah.
Kawasan Berlindung
Kasus tsunami Palu cukup menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat. Di mana hanya dalam waktu kurang dari 5 menit setelah gempa M=7,4, tsunami melanda pesisir pantai. Artinya kemungkinan terburuk tetap ada.
Kesadaran evakuasi secara mandiri harus terus ditanamkan di dalam diri masyarakat saat menghadapi situasi sebenarnya.
Evakuasi mandiri, jelas Sabar, masyarakat segera mengambil tindakan ke tempat yang lebih tinggi setelah merasakan guncangan gempa kuat dan durasi cukup lama atau berkisar 20 detik.
Jika berada di pesisir pantai dan merasakan guncangan gempa kuat, terang Sabar, tanpa harus menunggu peringatan resmi dari pemerintah segera mengambil tindakan penyelamatan diri ke wilayah yang lebih tinggi.
Kawasan Hotel Grage di Kota Bengkulu, sampai Sabar, merupakan tempat yang relatif tinggi untuk berlindung dari gelombang tsunami, jika masyarakat berada di sekitar wilayah Sport Center dan Pantai Panjang.
Begitu juga daerah Benteng Marlborough Kota Bengkulu, kawasan yang bisa dijadikan wilayah evakuasi cukup aman. Selain itu, daerah Universitas Bengkulu juga merupakan wilayah yang cukup tinggi, sehingga aman untuk dijadikan tempat evakuasi.
Sabar menyampaikan, menjadi sangat penting untuk mengenali, menguasai jalur evakuasi dan daerah-daerah yang aman untuk dijadikan tempat berkumpul, saat potensi tsunami terjadi.
Sebab banyak korban terjadi karena minimnya pengetahuan dan tidak menguasi jalur evakuasi serta titik berkumpul.
''Begitu juga sebaliknya banyak korban yang selamat karena memiliki kesadaran segera mengambil tindakan evakuasi mandiri serta menguasai jalur evakuasi dan tempat aman untuk penyelamatan,'' pungkas Sabar.
(Khafid Mardiyansyah)