PADA 2021, United Nation Children's Fund (UNICEF) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merilis laporan bahwa satu dari 12 anak di bawah usia lima tahun di Indonesia mengalami wasting atau kondisi gizi kurang atau gizi buruk pada anak yang ditandai dengan berat badan yang rendah dibandingkan tinggi badannya. Dalam laporan yang sama, disebutkan juga bahwa satu dari lima anak di Indonesia mengalami stunting.
Kasus wasting terjadi akibat adanya penurunan berat badan yang cepat atau gagal bertambah berat badan. "Anak gizi kurang atau gizi buruk mempunyai risiko kematian yang lebih tinggi, namun dapat diterapi," tulis laporan bertajuk "Menuju Masa Depan Indonesia Bebas Masalah Kekurangan Gizi" yang diakses pada 19 Agutus 2024.
Sementara, stunting dalam laporan tersebut, merujuk pada anak dengan tinggi badan terlalu rendah untuk usianya. Anak-anak stunting dapat mengalami gangguan fisik dan kognitif berat yang tidak dapat diperbaiki, yang menyertai hambatan pertumbuhan linier.
"Dampak buruk stunting dapat berlangsung seumur hidup dan bahkan berdampak pada generasi berikutnya," tulis laporan tersebut terkait stunting.
Baik wasting maupun stunting, dalam laporan tersebut, mempunyai dampak jangka panjang. Anak-anak wasting mempunyai daya tahan tubuh yang lemah, risiko kesakitan dan kematian yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak dengan gizi baik. Sementara stunting, menyebabkan gangguan kognitif, prestasi sekolah jelek, penghasilan dan produktifitas rendah, serta meningkatkan risiko menderita penyakit tidak menular saat dewasa.
Wasting dan stunting berhubungan erat, di mana keduanya memiliki faktor penyebab dan risiko yang sama, dan kedua bentuk kekurangan gizi ini saling berdampak satu sama lain. Anak wasting berisiko 3 kali lebih besar menjadi stunting dan anak stunting berisiko 1,5 kali menjadi wasting bila dibandingkan dengan anak-anak gizi baik. Anak yang mengalami kedua bentuk kekurangan gizi ini secara bersamaan memiliki risiko kematian 12 kali lebih tinggi dibandingkan anak gizi baik.
Laporan tersebut juga mengingatkan jika gagal menurunkan jumlah anak terdampak kekurangan gizi, maka wasting akan terus menghalangi langkah pemerintah Indonesia dalam mengurangi angka kematian, kesakitan anak, dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Modal Lawan Stunting Negara Maritim
Di tengah ancaman stunting dan wasting terhadap anak-anak Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sudah menekankan pentingnya mengonsumsi ikan. Bahkan, dia menyarankan agar ikan menjadi lauk dalam program makan bergizi. Usul tersebut didasarkan atas sejumlah pertimbangan.
Menurutnya, ikan mengandungan protein yang lengkap, terutama omega 3. Nutrisi tersebut diperlukan untuk meningkatkan kecerdasan anak serta mencegah stunting. Pertimbangan lain terkait posisi Indonesia sebagai negara maritim, ikan menjadi salah satu komoditas yang terjangkau, baik dari sisi harga maupun ketersediaan.
"(ikan) bisa dipenuhi dari budidaya lokal. Ada (budidaya) biofloc ada indoor dan pinggir pantai," ujar Sakti Wahyu Trenggono pada Juli 2024, silam.
Hadirnya ikan dalam program makan bergizi juga dianggap bisa membantu menghidupkan perekonomian daerah. Terutama, wilayah-wilayah sentra produksi perikanan.
Senada, Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Budi Sulistiyo optimistis adanya pertumbuhan ekonomi jika ikan menjadi bagian dari program makanan bergizi.
Hal tersebut berdasarkan asumsi perputaran ekonomi yang dihasilkan apabila program tersebut juga ditujukan untuk menstimulasi masyarakat semakin suka mengonsumsi ikan. Berdasarkan data BPS tahun 2022, terdapat 70.628.925 rumah tangga di 34 provinsi di Indonesia. Jumlah tersebut tersebar di perkotaan sebanyak 39.655.323 rumah tangga dan 30.973.629 rumah tangga berada di perdesaan.
"Jadi bukan hanya bergizi, jika masing-masing rumah tangga berbelanja ikan Rp30 ribu untuk asupan protein perhari, perputarannya sudah Rp2,1 triliun, sebulan Rp63 triliun, dan setahun Rp756 triliun," ujarnya.