Seharusnya, kata Irfan, perhitungan kerugian negara menjadi wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur oleh konstitusi. Walaupun setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2012, kewenangan ini dibagikan ke beberapa lembaga lain, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Hanya saja sering kali hasil audit BPK yang dibentuk berdasarkan konstitusi justru dikesampingkan oleh audit BPKP, yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Ini sangat janggal secara konstitusional," tuturnya.
Ia menambahkan, perbedaan hasil audit antara kedua lembaga ini seringkali menciptakan ketidakpastian hukum, yang pada akhirnya dapat merugikan kejelasan proses hukum dan legitimasi dalam penanganan kasus. Belum lagi diperparah upaya penegak hukum menggunakan hasil audit yang dianggap paling sesuai dengan konstruksi kasus yang dibangun tanpa mempertimbangkan legitimasi lembaga pengaudit.
(Arief Setyadi )