Persoalan berikutnya yang muncul yakni bagaimana Kertanagara dapat mengobati persengketaan tajam antara kerajaannya Singasari dan negeri jirannya Kediri. Kedua wilayah sempat bersatu, tetapi sudah sejak lama Singasari dan Kediri terlibat dalam sengketa berdarah, terkait garis keluarga mana yang berhak naik tahta.
Padahal secara garis Keluarga memang Jayakatwang yang berkuasa di Kediri masih saudara dengan Kertanagara. Hal ini yang memunculkan sikap jumawa dan terlalu percaya diri, bahwa Jayakatwang yang lebih muda tidak menyerang Singasari karena memiliki utang balas jasa dan masih berstatus keluarga.
Gayatri juga mengisahkan kekhawatiran ayahnya akan menangkal serangan serbuan tentara Mongol yang telah menaklukkan dataran Rusia dan Cina. Apalagi pasca gak itu tentara Mongol mulai bergerak kembali mengganggu negeri-negeri tetangga Cina.
Walaupun Jawa dan Cina dipisahkan oleh luasnya samudera, Raja Kertanegara sudah mengantisipasinya dengan berupaya membentuk sebuah konfederasi negeri-negeri Hindu Budha terdekat untuk bersatu melawan musuh bersama ini.
Sayang persoalan itu belum sepenuhnya terselesaikan hingga akhirnya pasukan Jayakatwang melakukan serangan mematikan. Kekosongan pasukan di istana dan ibu kota Singasari akibat Ekspedisi Pamalayu, berbuah petaka.
Istana Singasari mampu dikuasai oleh Jayakatwang dan pasukannya. Sementara Kertanagara, permaisuri, dan para pejabat negeri tewas seketika akibat serangan mendadak dari sisi selatan itu. Ironisnya Kertanagara tewas dalam kondisi konon tengah mabuk minuman keras (miras) dan pesta perempuan, yang jadi ritual rutinannya.
(Awaludin)