Di saat hati Nabi Ibrahim mendayu-dayu, menimang bayi Ismail penuh kasih sayang, namun Allah SWT memerintahkan kepada Ibrahim untuk menyembelih Ismail melalui mimpinya. Semula Ibrahim ragu akan ta’wil mimpinya, apakah itu firman Tuhan ataukah bunga tidur. Namun, perintah itu tersirat kuat sebagai pesan Allah SWT.
Kebimbangan itu dijawab Ibrahim dengan melaksanakan perintah-Nya untuk menyembelih bayi Ismail. “Nabi Ibrahim lolos ujian, kemelekatan hatinya terhadap anak tidak mampu menduakan terhadap kepatuhan dan kehambaannya kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim memilih “jalan pedih”, sebagai puncak kehambaan, untuk menunjukkan totalitas kecintaanya kepada Allah SWT. Pembuktian ini dibalas kontan oleh Allah SWT dengan menyelamatkan bayi Ismail,” katanya.
Menurut Said, kisah ini yang terus diperingati setiap tahun dalam Idul Adha, bermakna sangat dalam. Adakah kita sebagai hamba mampu menunaikan tugas sebagaimana yang di jalani oleh Nabi Ibrahim? Rasanya tidak ada yang mampu melampaui Nabi Ibrahim. Bisa jadi karena tidak ada yang mampu, Allah SWT telah mendiskon kewajiban umat, khususnya kepada kaum muslimin.
“Atas kemahakasih-Nya, Allah SWT hanya memerintahkan kita berkurban hewan kepada yang mampu. Makna kurban derajatnya diturunkan oleh Allah SWT dengan mewajibkan yang kaya untuk berbagi kepada yang miskin. Alangkah tidak tahu dirinya kita sebagai hamba kalau mengabaikan perintah yang terdiskon ini,” tuturnya.