Video Viral Influencer China Picu Kemarahan, Beijing Dituduh Kobarkan Propaganda Anti-Jepang

Rahman Asmardika, Jurnalis
Sabtu 05 Juli 2025 14:39 WIB
Restoran di China memasang informasi tentang penghentian penjualan produk dari Jepang. (Foto: Singapore Post)
Share :

JAKARTA – Seorang influencer China memicu kemarahan warganet setelah memposting video yang menunjukkan dirinya menimbun makanan laut mewah di restoran buffet atau prasmanan Jepang dan berbicara dengan bahasa yang menghina. Deng Jiajun juga dikenal dengan mama “Jang”, yang memiliki 4,3 juta pengikut di Douyin, menyebut aksinya tersebut sebagai sebuah “pembalasan dendam” terhadap Jepang.

Warganet melihat aksi Deng yang viral ini sebagai cermin ideologi yang mengakar dan mengkhawatirkan, yang berkembang di China. Video viral ini disebut merupakan dampak dari sistem pendidikan di China yang lekat dengan narasi dan kendali Partai Komunis China (PKC) yang berkuasa.

Dilansir dari The Singapore Post, Sabtu, (5/7/2025) selama beberapa dekade, kaum muda China tumbuh dengan mengonsumsi konten anti-Jepang yang tertanam dalam kurikulum, film yang disetujui negara, dan peringatan nasionalis. Banyak yang berpendapat bahwa pengondisian ini telah mendistorsi persepsi publik terhadap Jepang, memperkuat permusuhan sebagai standar budaya.

Terlepas dari bantuan pembangunan resmi senilai lebih dari 3,6 triliun Yen (sekira Rp533 Triliun) dari Jepang kepada China selama 43 tahun, permusuhan antara kedua negara terus berlanjut. Kontribusi bantuan tersebut bahkan jarang diakui dalam wacana publik.

Propaganda anti-Jepang telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, mencapai tingkat yang mengkhawatirkan pada 2024. Tahun itu saja terjadi serangkaian insiden yang mengejutkan: pembunuhan seorang anak Jepang berusia 10 tahun di Shenzhen, serangan terhadap bus sekolah Jepang di Jiangsu, dan vandalisme di Kuil Yasukuni Jepang termasuk buang air kecil di depan umum yang memicu kemarahan di Jepang.

 

Anggota parlemen Jepang Jenderal Matsubara dilaporkan menghubungkan insiden tersebut dengan kepercayaan yang berlaku di China bahwa tindakan patriotik pada dasarnya dapat dibenarkan, menghubungkan pola pikir ini dengan sistem pendidikan nasionalis PKC. Mantan Wakil Menteri Pertahanan Yasuhide Nakayama juga dikatakan telah menyatakan kekhawatirannya, dengan menyatakan bahwa indoktrinasi yang dipimpin negara telah berkontribusi terhadap lingkungan yang tidak bersahabat yang mendasari tragedi Shenzhen.

Bahkan di dalam lingkaran pembangkang China, ada pengakuan yang berkembang tentang bagaimana nasionalisme dijadikan senjata oleh PKC untuk memperkuat cengkeramannya pada kekuasaan. Banyak pembangkang berpendapat bahwa apa yang dicap sebagai patriotisme, dalam praktiknya, merupakan alat untuk menekan pemikiran demokrasi liberal dan menumbuhkan permusuhan terhadap musuh asing yang dianggap ada.

Laporan menggambarkan bagaimana anak-anak sekolah China menjadi sasaran "pendidikan patriotik" sejak usia muda, dengan kisah-kisah yang mengganggu tentang latihan simulasi di mana mereka melemparkan granat tiruan ke simbol-simbol Jepang dan Amerika, citra yang didokumentasikan dalam fitur investigasi seperti yang diproduksi oleh NHK.

Secara resmi, Kementerian Luar Negeri China membantah adanya niat untuk menanamkan sentimen anti-Jepang. Namun, kelompok pengawas dan pengamat internasional menunjukkan pola pengkondisian ideologis yang lebih luas.

 

"Pencucian otak dimulai sejak masa kanak-kanak, dan pada saat anak-anak ini menjadi dewasa, kebencian itu telah terinternalisasi sebagai hal yang wajar," kata seorang analis kepada The Singapore Post.

Meskipun tindakan Deng kemungkinan dimaksudkan untuk menyampaikan pesan politik, pengamat berpendapat bahwa tindakan tersebut mungkin secara tidak sengaja menggarisbawahi penderitaan warga negara China biasa yang terjebak di antara narasi sejarah yang dikurasi negara dan kritik internasional yang meningkat.

Di tengah meningkatnya kekhawatiran, berbagai suara telah menganjurkan kerangka kerja yang berorientasi ke masa depan dan lebih berempati dalam hubungan China-Jepang. Seorang individu Jepang, yang merenungkan masalah tersebut, menyatakan harapan bahwa generasi muda China pada akhirnya akan melampaui keluhan sejarah dan membina hubungan yang lebih bersahabat dan terbuka dengan dunia.

Ledakan kemarahan terhadap Deng Jiajun lebih dari sekadar tontonan viral, tetapi juga mengungkap bagaimana propaganda yang digerakkan negara, ambisi pribadi, dan tontonan media sosial dapat saling terkait untuk memperbesar ketegangan nasional.

Platform daring berkembang pesat karena kemarahan, tetapi juga mengungkap bagaimana perilaku individu dapat mencerminkan atau mendistorsi citra suatu negara, memperlebar keretakan, dan memperkuat stereotip.

Insiden semacam ini memunculkan pertanyaan tentang luka sejarah dan kemampuan masyarakat untuk melupakannya demi rekonsiliasi. Jawaban pertanyaan ini mungkin akan menampilkan hubngan antara dua kekuatan besar di Asia Timur.

(Rahman Asmardika)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya