JAKARTA – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyalahkan kaum radikal kiri atas penembakan yang menewaskan influencer pendukungnya, Charlie Kirk, beberapa waktu lalu. Trump menuding retorika kelompok radikal kiri yang melabeli Kirk sebagai Nazi dan pembunuh massal ikut berkontribusi terhadap tragedi tersebut. Ia bahkan melabeli kelompok radikal kiri sebagai teroris. Lantas, apakah fenomena radikal kiri juga ada di Indonesia?
Wakil Ketua Komisi Xlll DPR RI, Sugiat Santoso, menilai istilah kiri di Indonesia dan Amerika Serikat memiliki konteks yang berbeda. Menurutnya, kiri di Indonesia identik dengan komunisme atau marxisme, sementara di Amerika Serikat lebih dekat dengan liberalisme atau sosial-demokrat.
“Itu sebabnya di Amerika Serikat istilah kiri identik dengan Partai Demokrat yang ideologinya sangat liberal. Sementara kanan identik dengan Partai Republik yang konservatif, seperti yang digaungkan Trump lewat slogan Make America Great Again,” kata Sugiat, Senin (29/9/2025).
Sugiat menjelaskan, komunisme sudah tidak bisa ada lagi di Indonesia karena ideologi itu dan Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dilarang melalui TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 pascaperistiwa Gerakan 30 September (G30S).
“Kalau kiri versi Indonesia, sekarang sudah tidak bisa lagi karena dilarang. Tapi kalau kiri versi Amerika Serikat kan berkaitan dengan terorisme yang digembar-gemborkan mereka,” ujarnya.
Meski demikian, Sugiat menganggap diskusi mengenai radikal kiri di Indonesia menyentuh dua dimensi. Pertama, dimensi ideologis-historis, yakni komunisme atau PKI yang sudah dilarang. Kedua, dimensi sosiologis-kontemporer, yakni gerakan sosial. Ia menegaskan bahwa istilah kiri tidak selalu negatif.
“Di Indonesia, istilah kiri itu tidak seekstrem pada masa Perang Dingin. Kita jangan anti terhadap istilah ini, karena kritik terhadap oligarki dan ketidakadilan ekonomi juga masuk gerakan kiri. Tapi soal bahaya kiri sebagai kebangkitan komunisme, sekarang sangat sulit terjadi karena masyarakat sudah cerdas dan aparat juga sangat responsif terhadap isu ini,” jelas politikus Gerindra itu.
Untuk mencegah berkembangnya radikal kiri di Indonesia, Sugiat mengusulkan empat hal yakni penguatan ideologi dan pendidikan Pancasila agar masyarakat memiliki benteng ideologis, peningkatan keadilan sosial dan ekonomi guna menutup celah ketimpangan yang sering menjadi pemicu radikalisme, penegakan hukum dan keamanan dengan menindak tegas pelanggaran tanpa menghalangi kritik atau kebebasan akademik, dan pengawasan terhadap individu atau kelompok yang terbukti menyebarkan ideologi terlarang.
“Pencegahan yang paling efektif bukan hanya lewat pelarangan, tapi juga dengan menghadirkan negara yang adil, demokratis, dan sejahtera. Itu akan mengatasi akar masalah sosial dan ekonomi yang menjadi pemicu munculnya ideologi radikal,” tegas Sugiat.
Selain itu, ia juga mendorong peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam mengantisipasi radikal kiri. Menurutnya, BNPT perlu mengidentifikasi kelompok pro-komunis, mengawasi propaganda yang menyerukan penggantian ideologi Pancasila dengan komunisme, serta bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memastikan sejarah gerakan radikal disampaikan secara faktual.
Sugiat juga berharap BNPT memperluas kolaborasi dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga purnawirawan TNI/Polri dalam menyuarakan kewaspadaan terhadap ideologi terlarang.
“BNPT juga harus terus berkolaborasi dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk memperkuat edukasi Pancasila sebagai antitesis terhadap ideologi radikal, baik kiri maupun kanan,” pungkasnya.
(Awaludin)