JAKARTA – Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Ijud Tajudin menegaskan, bahwa aparat penegak hukum harus memiliki bukti yang kuat sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Hal tersebut disampaikan Ijud dalam sidang praperadilan terkait sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen.
Sebagai informasi, Polda Metro Jaya menetapkan Delpedro sebagai tersangka dalam kasus dugaan penghasutan terkait demonstrasi ricuh pada akhir Agustus lalu. Penetapan tersebut didasarkan pada dua alat bukti, yakni keterangan saksi dan keterangan ahli. Tim hukum Delpedro kemudian menggali lebih jauh alat bukti tersebut dengan menghadirkan ahli, Ijud Tajudin.
“Bilamana alat bukti keterangan saksi dapat dikatakan memenuhi atau sesuai standar aturan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, apakah keterangan saksi yang diperoleh dalam tahap penyelidikan dapat dikategorikan sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP?” tanya anggota Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), Fandi Denisatria, di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (21/10/2025).
“Ya, konteksnya apa yang disebut alat bukti keterangan saksi tentu harus memenuhi syarat formil dan materiil,” jawab Ijud.
Ijud menjelaskan, syarat formil dari alat bukti keterangan saksi adalah bahwa keterangan tersebut diberikan di bawah sumpah. Sementara itu, syarat materiil adalah bahwa saksi tersebut melihat langsung tindak pidana yang disangkakan.
“Konteksnya itu yang kemudian membuat keterangan seseorang dapat dijadikan alat bukti saksi. Jadi tentu saja kalau tidak memenuhi syarat tersebut, maka tidak bisa dikategorikan sebagai alat bukti keterangan saksi,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, TAUD juga mempertanyakan soal alat bukti yang diperoleh setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka menanyakan apakah bukti baru tersebut dapat dimasukkan sebagai bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP.
“Apakah alat bukti yang baru diperoleh setelah penetapan tersangka masuk dalam bukti permulaan yang cukup sebagaimana Pasal 1 angka 14 KUHAP?” tanya Fandi.
Menanggapi hal itu, Ijud menjelaskan bahwa dalam proses penyelidikan, penyidik memang membutuhkan pengumpulan bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana dan menetapkan seseorang sebagai tersangka. Oleh karena itu, dibutuhkan bukti permulaan yang cukup sebelum penetapan tersangka dilakukan.
“Tentu saja secara logis, penetapan tersangka harus didasarkan pada alat bukti yang diperoleh sebelumnya. Namun, dalam praktiknya, bisa saja setelah penetapan tersangka, penyidik menemukan bukti baru,” jelas Ijud.
“Ketika misalnya ada bukti yang muncul setelah penetapan tersangka, pertanyaannya adalah apakah bukti itu dapat digunakan sebagai bukti permulaan. Jadi, kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi,” pungkasnya.
(Awaludin)