JAKARTA – Pengadilan Kejahatan Internasional Bangladesh (International Crimes Tribunal/ICT‑BD) menjatuhkan hukuman mati kepada mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, dalam kasus dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hasina dinyatakan bersalah atas tiga dakwaan setelah persidangan berbulan‑bulan yang menyimpulkan adanya tindakan keras mematikan terhadap pemberontakan mahasiswa tahun lalu yang menyebabkan jatuhnya pemerintahan Liga Awami.
Tribunal beranggotakan tiga orang yang dipimpin Hakim Md Golam Mortuza Majumder juga menjatuhkan putusan terhadap dua ajudan Hasina, yakni mantan Menteri Dalam Negeri Asaduzzaman Khan Kamal dan mantan Kepala Polisi Chowdhury Abdullah Al‑Mamun, atas tuduhan serupa.
Pengadilan menyatakan ketiganya bersekongkol melakukan kekejaman dengan tujuan membunuh para pengunjuk rasa di seluruh negeri. Namun, pengadilan memberikan pengampunan kepada mantan kepala polisi tersebut yang “meminta maaf kepada tribunal dan rakyat negeri ini”.
Hasina dan Kamal dinyatakan buron dan diadili secara in absentia, sementara Mamun awalnya diadili secara langsung sebelum kemudian menjadi saksi pelaku (approver).
Hasina dinyatakan bersalah atas tiga dakwaan, termasuk penghasutan, memerintahkan pembunuhan, dan kelalaian mencegah kekejaman, demikian putusan yang dibacakan Hakim Golam Mortuza Majumder di hadapan sidang yang penuh sesak di Dhaka.
“Kami memutuskan untuk menjatuhkan hanya satu hukuman—yakni hukuman mati.”
Hasina, Kamal, dan Mamun menghadapi lima dakwaan, termasuk pembunuhan, percobaan pembunuhan, penyiksaan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya. Salah satu dakwaan utama menuduh Hasina memerintahkan “pemusnahan” para pengunjuk rasa. Ia juga dituduh menyampaikan pernyataan yang menghasut dan mengarahkan penggunaan senjata mematikan terhadap mahasiswa yang memimpin pemberontakan massal hingga ia lengser pada Agustus 2024.
Sebuah laporan kantor HAM PBB memperkirakan hingga 1.400 orang tewas antara 15 Juli dan 15 Agustus selama “Pemberontakan Juli” ketika pemerintahnya memerintahkan tindakan keras keamanan berskala luas.
Hasina (78) saat ini berada dalam pengasingan di India setelah menolak perintah pengadilan untuk hadir terkait dugaan perintah tindakan keras mematikan terhadap pemberontakan yang dipimpin mahasiswa yang berujung pada pelengserannya.
Pemerintah sementara Bangladesh yang dipimpin Muhammad Yunus telah mengupayakan ekstradisi Hasina, namun India belum memberikan tanggapan.
(Rahman Asmardika)