BOJONEGORO - Keberadaan usaha Tahu di Desa Ledok Kulon, memang mengalirkan uang yang deras ke kantong warga. Tapi, beberapa tahun terakhir, limbah Tahu, terutama cair menjadi masalah tersendiri, karena menimbulkan bau busuk yang menyengat.
Jika tidak segera dibuang dan ngendon di belakang rumah, maka seisi kampung akan menanggung akibatnya yakni menghirup bau busuk tersebut. Memang, akhirnya dipasang pipa yang kemudian dialirkan ke Sungai Bengawan Solo. "Pernah tidak mengalir karena pipanya tersumbat. Pipanya sangat besar. Wong saya masuk saja bisa kok," kata Arifin," ketua Paguyuban Usaha Tahu Ledok Kulon, Sabtu (25/7/2009).
Masalah itupun sedikit teruai setelah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemkab Bojonegoro membuat terobosan mengolah limbah cair dari tahu menjadi gas. Gas itu, kini dipakai untuk keperluan memasak ibu rumah tangga warga Ledok Kulon. Memang, belum semua warga bisa memanfaatkan limbah tahu menjadi gas. Karena, memerlukan alat dan penanganan khusus. "Di sini baru 6 keluarga yang sudah menggunakan gas dari limbah tahu," kata Arifin sambil menunjukkan gas di dapurnya.
Dia lalu menceritakan, limbah cair tahu yang biasa dikenal dengan cuka tahu memang menjadi masalah karena baunya. Lalu, pihaknya meminta bantuan pemkab setempat untuk mencarikan solusi. Setelah dilakukan kajian, lalu dibuatlah alat untuk mengolah limbah menjadi gas. Hasilnya, di dapurnya, kini menyembur api biru dari pipa yang berasal dari limbah cair. "Jadi, sekarang keluarga kami tak pernah membeli minyak tanah lagi," katanya.
Memang, sekilas jika dilihat tidak ada yang berbeda dari rumah Arifin, termasuk alat pengolah gas. Karena ternyata yang dimaksud alat pengolah limbah itu, adalah berupa pipa dan "septitank" yang dipakai untuk menampung limbah. Limbah itu memang tidak dihasilkan dari usaha tahu yang berada di belakang rumahnya saja, melainkan dikumpulkan dari enam keluarga yang memproduksi tahu. Cuka tahu itu kemudian dikumpulkan di septitank dan dialirkan ke penampungan (yang juga di dalam tanah) berbentuk cembung.
Dari penampungan ke dua inilah dialirkan gas melalui pipa kecil yang langsung tersambung dengan kompor gas. Di sisi kompor yang menempel di tembok terdapat kran air yang berfungsi sebagai alat on/off kompor tersebut. Limbah cair itu, kini tidak menimbulkan bau menyengat, melainkan malah memberikan manfaat. "Pembuatannya Juni lalu. Pernah diujicoba menyala 24 jam tidak pernah mati," kata Arifin bangga.
Secara teknis, Arifin tidak mengetahui persis cara pembuatannya. Karena, semua ditangani Dinas LH Pemkab Bojonegoro. Hanya saja, dorinya sedikit tahu tentang mekanisme kerja alat tersebut.
Menurut dia, sekitar tiga-lima bulan sekali, penampungan terakhir dikuras. Limbah tersebut sudah tidak bercampur gas, karena gas sebelumnya sudah dialirkan ke kompor.
Arifin menyadari, saat ini memang warga Ledok Kulon belum semuanya memanfaatkan gas tersebut. Tapi, dia yakin ke depan, warga Ledok semuanya bisa memanfaatkannya dan menghemat penggunaan minyak tanah. Diperkirakan, pembuatan alat tersebut menghabiskan dana sekitar Rp60 juta. Dana itu semuanya berasal dari pemkab. "Jadi ini memang semuanya dari pemkab. Dan ini belum sempat diresmikan Pak Yoto (Suyoto Bupati Bojonegoro,red)," tutur Arifin.
Sementara itu, Kepala Bagian LH Pemkab Bambang Harno menuturkan, ide membuat gas dari limbah tahu memang sudah lama diprogramkan pemkab. Hingga akhirnya, pihaknya melakukan studi banding ke Desa/Kecamatan Seguyat. Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Di sana, warganya hampir semuanya juga membuat tahu. "Kita studi banding ke sana, dan hasilnya kita coba terapkan di Ledok Kulon," terangnya.
Lalu, pihak Bagian LH membuat kajian dan meminta Kabupaten Sleman membantu tenaga teknisi untuk membuat penampungan limbah yang mempunyai bentuk yang khas, menyerupai kendil di dalam tanah dengan kedalaman sekitar 3 meter dan lebar 4 meter. Penampungan itu tanpa rangka besi, karena jika diberi rangka besi sebagai penguat maka tidak bisa menghasilkan gas. "Kami masih mengandalkan teknisi dari sana," terangnya.
Bagian LH, lanjut Bambang mempunyai target, lima tahun ke depan Desa Ledok Kulon menjadi sentra produksi tahu dengan lingkungan yang bersih. Diakuinya, saat ini limbah tahu mengalir ke mana-mana karena belum dimanfaatkan maksimal. Tapi, ke depan, setelah ada alat pengolah limbah menjadi tahu, Ledok Kulon akan menjadi kawasan yang bersih. "Lima tahun ke depan, target kami tidak ada lagi limbah terbuang dan mencemari lingkungan," tegasnya.
Kondisi lingkungan Ledok Kulon memang jauh dari bersih. Limbah Tahu dialirkan sembarangan. Apalagi disampingnya terdapat kandang sapi yang dibangun seadanya. Memang, sebagian sudah memperhatikan lingkungan, tapi masih banyak juga warga yang belum sadar lingkungan. Program pengolahan limbah cair menjadi gas, merupakan salah satu alternatif menata lingkungan desa tersebut.
Saat ini, pemkab masih berusaha meminta dana sharing dari Pemerintah Pusat untuk memperbanyak alat pengolah limbah tersebut. Rencananya, warga akan dibuat 11 sampai 12 kelompok. Masing-masing akan diberi pengetahuan dan cara pembuatan dan pengoperasian alat pengolah limbah tersebut. Jika sudah terealisasi, maka Ledok Kulon akan menjadi desa dengan sentuhan teknologi lingkungan. "Kami masih mencari dana dari pusat. Tidak lagi mengandalkan APBD Kabupaten," tegasnya.
Jika program itu terealisasi, Desa Ledok Kulon tak hanya dikenal dengan makanan tahu melainkan juga pengolahan limbah yang unik. Karena, berhasil memanfaatkan limbah menjadi gas untuk keperluan memasak. Arifin menuturkan, kompor gas dari limbah tahu sangat membantu dirinya. Apalagi, gas itu aman dan tidak mungkin meledak karena tidak ada tabungnya. "Tabungnya ya penampungan di dalam tanah itu," terang Arifin saat ditemui di rumahnya.
Arifin juga berencana mengajukan bantuan ke pemkab untuk mengolah limbah kotoran sapi menjadi gas. Karena, di Ledok Kulon, selain tahu, warga juga hampir semuanya memelihara sapi. Diharapkan, setiap lingkungan yang memiliki sapi bisa memanfaatkan kotoran sapi menjadi gas. Dan jika itu juga teralisasi, Ledok Kulon akan menjadi desa pemproduksi gas bukan dari alam, melainkan dari limbah sapi dan tahu.
(Dadan Muhammad Ramdan)